Sunday, December 25, 2005

Jaromil

Ada daya tarikan yang memuaskan khayalan, intelek dan nafsu (juga rohani) dalam karya ini, Life is Elsewhere -- tentunya buah tangan Milan Kundera.

Untuk bacaan penutup tahun, selepas Czeslaw Milosz The Captive Mind, dua karya kreatif ini ada beberapa tema atau insiden yang saling bertautan, dan selalunya pula fundamental, antara satu sama lain.

Antaranya, persoalan kekangan kreativiti yang dipaksakan negara melalui ideologi seni "realisme sosialis" -- mengingatkan saya debat (dan tekanan) yang ditimpakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) terhadap Manifes Kebudayaan (Manifes) di Indonesia pada 1963-64.

Lekra, yang didukung parti komunis republik itu PKI, pendukung utama ideologi seni tersebut. Saya pernah mengupas hal ini dalam Mingguan Malaysia (8 Jun 2003) 'Ruang awam untuk sasterawan' dan juga buku Patah Balek: Catatan terpenting reformasi (2005), 'Seniman, sasterawan hilang arah' (hal. 120).

Saya terganggu, pedih dan sedih, mengenangkan bagaimana penulis kreatif, seniman, wartawan dan intelektual terpaksa tunduk dan terkorban dalam memenuhi kejahatan politik negara (dalam kes Milosz, di Poland).

Sesiapa yang masih ada kesedaran nurani akan berpura-pura dan selebihnya memamah ideologi seni ini sebagai alat untuk mendaki tangga-tangga keselesaan hidup dan merelakan diri mereka alat kejahatan negara yang menindas teman-teman mereka sendiri.

Apakah mereka ini seumpama beberapa "ekor" orang seni kita (termasuk yang sudah tua-tua) yang rela diperkudakan negara untuk menguasai badan-badan seni kita, termasuk mencincang skrip teater (apabila menduduki jawatankuasa menapis skrip DBKL)?

Gaya Kundera (foto kiri) lebih berbentuk sasterawi berbanding Milosz yang menulis stail analisa berita walau kedua-duanya hasil kerja cereka (yang ini menghairankan saya -- bagaimana The Captive Mind dikelaskan sebagai fiction/literature, bukan non-fiction?)

Paul Theroux, pada Julai 1974, menulis empat tahun selepas Kundera memaparkan konflik dan jiwa Jaromil dan ibunya Maman (dua watak utama) dalam novel yang mengasyikkan ini:

A writer who keeps his sanity long enough to ridicule his oppressors, who has enough hope left to make this ridicule into satire, must be congratulated. And Kundera's humor is impossible elsewhere.

One can't imagine his particular situations growing out of anything but a combined anger and fascination with the cut-price Stalinists who have the whip- hand in Prague, "that city," he says, "of defenestration. . . ."

Dalam novel ini, banyak ungkapan dan cebisan cerita yang wajar dikutip dan dikongsikan, khususnya bait-bait puisi, tetapi di sini saya terpikat dengan tema "kebebasan" (halaman 46 -- namun, perlu ditegaskan, tema kebebasan ini juga sangat sebati dengan puisi, penjara puisi dan paradoks-sekatan terhadap pemuisi):

"I don't want anything from you except your freedom. I want you to give me your own complete free-ness as a gift!"

(kata pelukis lelaki itu kepada Maman sewaktu gelora godaan merembes ke dada masing-masing)

"The worst thing is not that the world is unfree, but that people have unlearned their liberty"

(katanya, merayu lagi... sewaktu keinginan Maman semakin sukar menepis bisikan itu).

Tetapi ibu Jaromil, anak muda yang ingin menjadi penyair besar, sewaktu suaminya tidak memuaskan hasrat batinnya kerana lebih setia pada kekasih baru, seorang gadis Yahudi (tentu tanpa pengetahuan Maman atau anak mereka) sukar sekali menghayati kebebasan itu.

The harder she tried to learn how to be free, the more difficult a task her freedom became. It turned into a duty, into something for which she had to prepare at home (....), such that she began to groan under the imperative of freedom as if under a heavy burden.

Sewaktu membaca babak-babak asmara ini, kadang-kadang ingatan saya menerawang mengenangkan Rahmat, Hisyam dan Munirah (juga gadis-gadis desa Kampung Batu Ragi) dalam Saga, ciptaan A Talib M Hassan, novel (pemenang anugerah sastera Gapena 1976) yang mengganggu fikiran ini sewaktu usia saya sebaya Jaromil.

Tetapi jangan cepat membuat kesimpulan, Life is Elsewhere bukanlah novel cinta atau seks. Sekali lagi meminjam Theroux, novel ini tentang politik, ia mengenai "... revolves on a single political proposition: that in a society with strict rules a poet risks betraying his lyricism."

Pada muka surat 121, tercatat:

Freedom does not begin when parents are rejected or buried; freedom dies when parents are born.
He is free who is unaware of his origin.
He is free who is born of an egg dropped in the woods.
He is free who spat out from the sky and touches the earth without a pang of gratitude.

Keseluruhan novel ini berpaksi pada isu kawalan (bayangan imej ibu yang mengikat leher si anak, paradoks jiwa Jaromil dan sistem politik kekangan) dan pertarungan watak-watak ini untuk bebas daripada kawalan-kawalan itu. Walau ada waktunya penyair remaja ini menyimpan pertentangan dalam dirinya sendiri tanpa dia sedari.

Misalnya dia inginkan sajak-sajak lirik (lyrical poetry) karangannya diterbitkan tetapi karya seni seumpama itu tidak akan (atau sukar sama sekali) diterbitkan dalam era politik komunisme (yang berpegang pada "realisme sosialis" atau karya seni yang menjilat kepentingan ideologi anti-kelas semata-mata) di Chechoslovakia.

Jaromil, sewaktu beriya-iya mahu menerbitkan sajak-sajak liriknya, mendukung (dan suka pada) Revolusi Komunisme. Dia malah dengan angkuhnya melaporkan kepada polis bahawa abang, yang ingin melarikan diri ke luar negara, kepada kekasihnya sendiri! Dan, berasa bangga dengan itu (hal. 260-62)!!

Akibatnya dia kehilangan kekasih hati sendiri, yang dibawa polis kerana dianggap bersekongkol (hal. 264): the majesty of duty [yakni: melaporkan kepada polis sebagai "seorang warga negara yang baik"] grows out of the bloody, split head of love!

Kundera mengingatkan kepada pembaca, kepada kita semua: Hati-hati bukan Jaromil seorang yang boleh berkelakuan begini. But his [Jaromil's] monstrosity is potentially contained in us all. It is in me. It is in you. (hal. 310)

Sajak-sajak lirik yang menguasi jiwa si penyair Jaromil, dalam novel Kundera ini, dijadikan pentas kritik pengarang bagaimana politik mengawal kespontanan jiwa dan pemikiran anak muda. Sajak lirik dianggap simbol keremajaan atau kemudaan.

Kundera menjelaskan tujuan dan latar penulisan novel di bahagian 'pasca-tulis' (atau, post-script) di halaman 309-11 edisi Faber and Faber (1990). Saya kutip agak panjang satu perenggan yang pernah menggoncang fikiran Kundera, tidak jauh gegaran moral pada Milosz:

I heard my admired French poet Paul Eluard publicly and ceremonially renounce his Prague friend whom Stalinist justice was sending to the gallows.

This episode (I wrote about it in The Book of Laughter and Forgetting) hit me like a trauma: when an executioner kills, that is after all normal; but when a poet (and a great poet) sings in accompaniment, the whole system of values we considered sacrosanct has suddenly been shaken apart.

Nothing is certain any longer. Everything turns problematic, questionable, subject of analysis and doubt: Progress and Revolution. Youth. Motherhood. Even Man. And also Poetry.

I saw before me a world of shaken values and gradually, over many years, the figure of Jaromil, his mother and his loves took shape in my mind. (hal. 310)

Untuk lebih perinci pemikiran dan gaya Kundera, lihat 'The Back Half: Unbearable stardom' (New Statesman, 23 Oktober 2003)

Tentang kawalan ibu yang konservatif, seumpama Maman dan anaknya Jaromil, saya teringatkan novel (dan kemudian difilemkan) karya Elfriede Jelinek, pemenang Hadiah Nobel sastera 2004, The Piano Teacher -- sebuah karya (saya tonton filem sebetulnya, belum membaca novel) yang cukup menekan dan mengganggu!

Edisi Indonesia karya ini sedang diusahakan (setakat September 2005 -- sewaktu saya di Jakarta), antaranya, oleh Ayu Utami daripada teks-teks Jerman dan Inggeris.

(kemas kini terakhir, 27 Dec 2005)

Thursday, December 22, 2005

Pasungan

Buku Czeslaw Milosz, pemenang Hadiah Nobel sastera 1980, The Captive Mind (edisi asal 1953), benar-benar menggoncang fikiran saya.

Ia menunjukkan bagaimana jahatnya politik dan budaya dan orang-orang terpelajar (intelektual, inteligensia dan aktivis politik) terkorban bersamanya.

Ia memasung minda...

Yang tidak sanggup menukar jiwa dan kesedaran mereka, terpaksa berpura-pura, mengamalkan ketman atau takiyyah (di kalangan pengikut Syiah). Gejala berpura-pura ini digambarkan begini oleh Milosz (halaman 55):

Of course, all human behavior contains a significant amount of acting. A man reacts to his environment and is molded by it even in his gestures. Nevertheless, what we find in the people's democracies is a conscious mass play rather than automatic imitation.

[Nota: Ungkapan people's democracies merujuk jenis pentadbiran komunis, bukan demokrasi yang lazim kita fahami, di negara-negara yang dikuasai Russia; Milosz berasal dan menceritakan pengalamannya di Poland selepas negara itu dikuasai Tentera Merah. Kata Party slogans, di perenggan ketiga kutipan di bawah, merujuk propaganda parti komunis yang berpusat di Moscow]

Conscious acting, if one practices it long enough, develops those traits which one uses most in one's role, just as a man who became a runner because he had good legs develops his legs even more in training.

After long acquaintance with his role, a man grows into it so closely that he can no longer differentiate his true self from the self he simulates, so that even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans.

Cerita Milosz ini sudah dahsyat dan mendalam -- namun, membaca George Orwell, Nineteen Eighty Four (edisi asal 1949), jauh lebih mengasyikkan dan juga mengerikan.

Rupa-rupanya ada beberapa laman web yang mendedikasikan untuk karya Orwell ini, selain pautan (link) di atas: Wikipedia, edisi pengenalan oleh Gwyneth Roberts, ringkasan dan tafsiran, George-Orwell.org, Newcastle.edu.au dan banyak lagi dalam talian.

Yang paling menyayat hati dalam karya Orwell, apabila Julia dan kekasihnya Winston Smith terpaksa mengkhianati antara satu sama lain -- membocorkan kegiatan masing-masing yang dianggap "menentang kerajaan" -- selepas kedua-duanya ditangkap "berkhalwat" (di negara 1984 ini, digelar negara "Airstrip One", mengadakan hubungan kelamin secara haram dianggap satu kesalahan).

Orwell juga menggambarkan kawalan minda (atau, thought control), sama seperti kata Milosz dalam kutipan di atas "even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans". Negara jahat ini mencipta kaedah berbahasa sendiri, yang disebut pengarang Animal Farm ini sebagai newspeak.

Beberapa tahun selepas novel ini diterbitkan, Orwell pernah menulis esei tentang dampak bahasa dalam pemikiran manusia dan bagaimana kediktatoran mencipta bahasa dan mengawal masyarakatnya, Politics and English Language (1946).

Di permulaan artikel saya 'Puisi dalam trauma bahasa' (Malaysiakini.com, 7 Mac 2005; kemudian diterbitkan kembali dalam Ummahonline.com), saya ada mengutip pesanan Orwell:

When the general atmosphere is bad, language must suffer. I should expect to find … that the German, Russian and Italian languages have all deteriorated in the last ten or fifteen years, as a result of dictatorship.

But if thought corrupts language, language can also corrupt thought. A bad usage can spread by tradition and imitation, even among people who should and do know better.”

Monday, December 19, 2005

Rosli

(dedikasi buat Rosli yang pernah mengharukan hati; yang tidak pernah menjadikan matanya sebagai halangan membaca)

As soon as a fact is narrated no longer with a view to acting directly on reality but intransitively, that is to say, finally outside of any function other than that of the very practice of the symbol itself, this disconnection occurs, the voice loses its origin, the author enters into his own death, writing begins – Roland Barthes dalam ‘The death of author’ (1977)

Jika kita ada menyimpan sekeping (atau beberapa keping) foto bogel sewaktu zaman kita nakal-nakal dulu, atau ada insiden-insiden lama yang mengaibkan diingatkan kepada kita saat ini, apakah perasaan kita?

Tentulah malu...

Saya berdepan dengan idea-idea saya yang tersebar dalam bermacam-macam media: akhbar-akhbar harian utama, yang ada waktunya bersifat polemik atau kecaman keras, dan juga risalah-risalah tertutup untuk teman-teman diskusi sejak di bangku sekolah.

Setidak-tidaknya ia bermula sejak 1985, sewaktu kami menerbitkan risalah al-Ikhwan dan majalah tahunan al-Hijrah di Sekolah Menengah Sains Sultan Mahmud, Kuala Terengganu. Kemudian saya menulis kepada Harakah dan majalah Muslimah pada 1988, selepas (dan sebelum) bergelumang di sebuah kampus di Shah Alam (dan Arau).

Ada waktu-waktunya saya gembira, ada rasa puas, kerana pernah terfikir dan menulis begitu. Tetapi banyak waktunya saya tidak gembira; ia menimbulkan resah, rasa malu dan 'aib, pandangan-pandangan lama itu. Saya sekarang (2005) bukan sepenuhnya saya dulu (1985-2004).

Semua orang berubah, dan saya seorang daripada semua orang itu. Tetapi tulisan saya seolah-olah masih kekal abadi dan mungkin masih terus dibaca, disebut dan dirujuk orang (khususnya anak-anak muda). Walau mungkin, jika saya ditemui saat ini, saya akan mengemukakan pandangan lain (kalau tidak sepenuhnya 'baru').

Saya sentiasa sedar hal ini dan sentiasa bergolak memikirkan tentang idea-idea lalu. Seperti hantu masa silam mengganggu seseorang, artikel-artikel saya sering muncul dengan wajah hodoh dan mengerikan, mengejek dan menghina, dalam mimpi dan sedar saya.

Tetapi tidak pernah ada gugatan yang kuat ke jantung kesedaran saya sehinggalah muncul seorang anak muda bernama Rosli, dari Brickfields, Kuala Lumpur. Anak muda ini, asal Kelantan tetapi mendapat didikan di ibu kota, benar-benar menggugah makna tanggungjawab dan moral saya sebagai seorang penulis. Dia benar-benar menyentuh dasar kesedaran saya selama ini.

Suatu hari, penghujung 2003 atau awal 2004, selepas diminta oleh saya sendiri Rosli membawa dua keping artikel saya yang telah difotokopi.

Satu, daripada majalah Tamadun (1997 atau 1998), tentang penggunaan teori sistem, systems theory, dalam memahami dinamika negara untuk perubahan Islam. Ia ditujukan kepada aktivis dan pemikir gerakan Islam - walau saya tidak pasti sama ada mereka mengambil perhatian tentang itu atau tidak.

Kedua, keratan rencana saya yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia (1996), tentang hubungan nilai dan budaya masyarakat dengan kemajuan ekonomi. Isu ini memang sering menjadi obsesi saya yang lama, setua keghairahan
saya cuba memahami epistemologi dan filsafat bahasa.

(Untuk satu analisa terkini, baca makalah Politics, institutional structures, and the rise of economics: A comparative study karya Marion Fourcade-Gourinchas.)

Sewaktu saya di Jakarta sepanjang tahun ini, saya terpikat dengan idea memajukan demokrasi dari bawah, daripada 'masyarakat sivil', daripada nilai dan budaya masyarakat, daripada modal masyarakat (social capital), begitu istilah ilmiahnya.

Tidak salah ingatan saya, sewaktu menyediakan artikel di akhbar harian tersebut, buku Lester Thurow, Head to Head: The coming of economic battle among Japan, Europe and America, yang menjadi rujukan saya, selain sebuah buku berjudul Human Capital (hingga sekarang saya lupa nama pengarangnya -- kerana dipinjam kawan tetapi bukunya tidak dipulangkan). Namun buku tentang modal manusia ini pernah pula dijadikan asas untuk menulis sebuah rencana 'Memasuki era ekonomi pengetahuan' di akhbar Berita Harian (20 September 1993), tentang perubahan teori pengurusan apabila muncul gejala ekonomi berasaskan pengetahuan (k-economy).

Saya tidak menduga sama sekali Rosli masih menyimpan kedua-dua artikel tersebut. Pada dugaan saya, tidak ada pembaca yang setekun itu -- menyimpan keratan rencana-rencana yang tidak seberapa (mutu) itu untuk diarkibkan.

Saya selalu membuat andaian bahawa artikel-artikel saya tidak diberikan perhatian atau bakal berlalu begitu sahaja. Kebanyakan idea saya selalunya bersifat seimbas lalu, bukan satu kajian atau pemikiran yang mendalam. Semuanya suatu 'permulaan' untuk tinjauan lanjut di masa-masa depan (yang entah bila akan muncul lagi).

Tetapi Rosli ini mencabar tanggapan umum saya. Maksud saya, tanggapan tentang harga dan nilai idea saya di mata pembaca. Juga, soal moral dan tanggungjawab sebagai penulis.

Rosli, beberapa tahun lebih muda daripada saya, seorang yang buta, sebetulnya. Dia hanya boleh memandang dengan sebelah mata. Untuk membaca, dia harus mendekatkan teks kira-kira satu inci (2 atau 3 cm) ke mata kirinya itu.

Tetapi Rosli bukan sembarangan pembaca; dia berpengetahuan luas dan minat yang mencakupi banyak topik -- agama, politik dan falsafah antara isu-isu utamanya. Dia sentiasa minat menghadiri diskusi, forum atau seminar. Buku-buku serius juga menjadi subjek pembacaannya.

Kita mungkin tidak menemui 'Rosli' di kalangan mahasiswa atau graduan kita hari ini kerana anak muda ini tidak pernah ke kampus. Tetapi kepintaran dan keseriusannya boleh menyebabkan kita semua malu.

Dan, sayalah seorang yang sangat dimalukan dengan ketekunannya itu :(

Friday, December 16, 2005

Belum mati

Teks, akhirnya, bernafas dan berdiri sendiri. Ia merenung tepat ke muka pengarang teks -- pencipta jasad, ruh dan tenaganya. Ada waktunya teks tersenyum, tidak kurang dengan sinis. Ada pula dengan wajah celaka, memalukan.

Teks terpenggal dari pengarangnya -- bukan kerana teks lebih abadi daripada pengarangnya tetapi mungkin manusia lebih tidak setia pada kelamaan dirinya sendiri. Dalam bahasa filsafat, pengarang diisytiharkan "telah mati".

Saya pernah menulis dua siri rencana pendek tentang dara, kemungkinannya pada penghujung 1995 atau 1996. Pada waktu itu saya menulis sebuah manuskrip novelet, Sekuntum Duri (yang tidak siap, yang telah hilang daripada simpanan saya tetapi beberapa naskhah diedarkan kepada tiga atau empat kawan).

Rencana tersebut diterbitkan dalam majalah Muslimah (sekarang tidak lagi beroperasi), sebuah penerbitan yang dekat dengan parti Islam. Bahagian kedua, yang ditulis dan dikirim selepas terbit artikel pertama, tidak disiarkan. Mungkin bagi sidang pengarang membicarakan isu dara, kedaraan dan merungkai debat seksualiti dengan begitu "intensif" tidak sesuai. Entah, itu hanya dugaan saya sahaja.

Sebenarnya saya sudah lupa bulan dan tahun artikel tersebut diterbitkan dalam Muslimah. Saya sendiri tidak menyimpan edisi digital artikel tersebut. Jadi, saya benar-benar tidak ingat lagi sepatah demi sepatah artikel yang diterbitkan dalam Muslimah walau saya cukup sedar garis penghujahan saya waktu itu seperti yang beredar di alam siber sekarang.

Tiba-tiba, artikel tersebut muncul dalam edisi Internet dan terus menerus dijadikan bahan diskusi atau forum siber. Lihat di sini MJ Website, WebKL.net, Perlis Online.net, Fikrah Interaktif, Tokei Kedai Online, Komuniti Telaga Biru (dimasukkan 18 Ogos 2004, tetapi sekarang gagal diakses), dan Kelab Senang.com. Setakat ini saya temui di ruang carian di Google.com dan Yahoo.com.

Saya berbesar hati dengan kesediaan pembaca terus membaca, menyebarkan dan membincangkan tulisan tersebut. Cuma, muncul rasa ghairah dalam diri saya untuk tidak sepenuhnya bersetuju dengan artikel tersebut. Muncul rasa ghairah untuk menulis artikel baru, artikel sambungan atau artikel ulasan sebagai lanjutan (reaksi) pada artikel 'Dara: Apakah ia penting?'.

Walau Roland Barthes mengisytiharkan "pengarang telah mati" tetapi diri penulis artikel dara itu nampaknya belum mahu mati dan enggan dipisahkan daripadanya. Penulis, saat ini, teringin sekali untuk turut campur tangan (kenapa tidak "campur kaki"?) dalam isu dara tersebut.

Pengarang belum mahu mati!


+ + + + +

Dilema kedua saya berhubung artikel ini, 'ISA, juga ada manfaatnya' (diedarkan kepada beberapa laman web pro-reformasi, 15 April 2001).

Saya KALI INI terpaksa membuat pengakuan terus terang, jujur dan serius (tanpa jenaka, tanpa main-main) di sini.

Sewaktu artikel tentang ISA tersebut diedarkan dalam ruang diskusi senarai e-mel (mailing list) dan laman-laman web tersebut, ia telah menimbulkan kontroversi dan mengelirukan beberapa pembaca, termasuk teman-teman dekat saya sendiri.

Beberapa pembaca, malah, menulis dan merungut waktu itu kepada ketua editor Malaysiakini.com, Steven Gan. Saya telah jelaskan kepada Steven, rakan-rakan dan pembaca tetapi ...

Astora Jabat, teman saya, melalui kolumnya di Mingguan Malaysia (16 Feb 2003) menulis 'Mengawasi, menilai dan meluruskan kerajaan - Islam izinkan pembangkang' menjadikan artikel saya tersebut sebagai satu (daripada beberapa) rujukan bagi menilai sikap dan perubahan pemikiran saya.

Selepas membaca artikel Astora ini, beberapa teman dekat bertanya: "Fathi, apakah kau sokong ISA?" Terpaksalah, saya menjelaskannya (sekali lagi...)

Saya nampaknya terjerumus lebih jauh dalam jenaka saya sendiri. Ampun...!

Pembaca yang tidak berhati-hati akan terasa saya benar-benar serius dengan pandangan tersebut. Tetapi pembaca yang sangat berhati-hati akan dapat mengesan paradoks, kesinisan, sindiran dan kecaman halus saya dalam artikel 'ISA, juga ada manfaatnya'.

Kebetulan artikel ini tidak datang sendirian. Ada satu catatan pendek yang dikirim sehari atau dua sebelum saya menulis artikel ini. Artikel itu bertajuk 'Cara nak buat Grenade Launcher, Molotov Koktel dan Bom' (lihat senarai artikel saya antara 2000 dan 2001 di lamab web TranungKite.net edisi lama).

Jadi saya mohon maaf kepada semua pembaca, dulu dan kini, juga kepada Astora Jabat. Tulisan saya yang penuh main-main, sinis dan kecaman itu seharusnya tidak ditulis dengan begitu halus sehingga tidak sempat kita berjenaka.

We take things too seriously! I am very, very sorry! :(

Thursday, December 08, 2005

Intelektual awam

Intellectuals should make public use of the professional knowledge that they possess - for example, as a writer or a physicist, a social scientist or a philosopher - and should do so of their own initiative, in other words without being commissioned to do so by anyone else.

They need not be neutral and eschew partisanship, but they should make a statement only in full awareness of their own fallibility; they should limit themselves to relevant issues, contributing information and good arguments; in other words, they should endeavor to improve the deplorable discursive level of public debates.

Intellectuals must tread a difficult tightrope in other regards as well.

For they betray their own authority if they do not carefully separate their professional from their public roles.

They should not use the influence they have by dint of words as a means to acquire power, thus confusing "influence" with "political power", that is with authority tied to positions in a party organization or a government.

Intellectuals cease to be intellectuals when they are in public office.


SEBELUMNYA, tokoh ini mengulas tentang peranan wacana, pelaku (actor) dan ruang. Ruang awam, atau public sphere, mengutamakan wacana rasional atas isu-isu awam berbeza dengan dunia kegemerlapan bintang (dan selebriti) yang hanya menonojolkan diri dan mencampur-adukkan dua dunia, awam dan peribadi (private sphere).


In today’s media society, the public sphere serves those who have gained prominence as a stage for self-presentation. Visibility is the real purpose of public appearance. The price that stars pay for this kind of presence in the mass media is to accept the conflation of their private and their public lives.

By contrast, the intention behind participation in political, literary or scholarly debates, or any other contribution to public discourse, is quite different: reaching agreement on a particular subject or clarifying reasonable dissent takes priority over the self-presentation of the author.

Here, the public is not a domain made up of viewers or listeners, but instead a space for the contributions of speakers and addressees, who confront one another with questions and answers. Rather than everyone else’s gaze being focused on the actor, there is an exchange of reasons and opinions.

In discourses that focus on a shared subject, participants turn their backs on their private lives. They do not need to talk about themselves. The line between public and private spheres does not become blurred; the two complement each other instead.

(Jürgen Habermas, "Public space and political public sphere – the biographical roots of two motifs in my thought", Commemorative Lecture, Kyoto November 11, 2004)

Sunday, December 04, 2005

Tarian teks

Tarian teks di atas ker(pen)tas**

Our perception of our world is inevitably conditioned by the beliefs, fantasies, fears and wishes that we project onto it – that is, all the possible states of affairs that we imagine and propose. The ‘actual’ world of the drama is similarly subject to the speculations and projections not only of the characters within it but also of the spectators who observe it. – Keir Elam, The semiotics of theatre and drama (2002: 102)

The impossibility of rediscovering an absolute level of the real is of the same order as the impossibility of staging illusion. Illusion is no longer possible, because the real is no longer possible. – Jean Baudrillard, Simulacra and simulation (2003: 19)

All great prophecies are polysemic. That is one of their cardinal virtues, and explains how they have such general applications, and are transmitted so well across cultures and down the generations. – Pierre Bourdieu, dalam Bourdieu: A critical reader (ed. Richard Shusterman, 1999: 224)

Apabila jasad-jasad dinafikan wajah-wajah, apabila suara-suara diceraikan daripada jasad-jasadnya, yang tinggal hanya gerak-gerak dan gema-gema teriakan, kegembiraan dan ketakutan. Rasukan. Tangan-tangan meronta-ronta, pelarian dan pencarian. Panggung dicengkam kesunyian, kelam alam di suluhan lampu. Gema dan pancaran adalah kesedaran, kuasa-kuasa yang menyatu bersama panggung. Manusia dan kemanusiaan telah mati atau diberikan nafas baru – nafas kepalsuan.

Ruang empat segi yang mendatar, dan tanpa penjuru, mungkin mendatar, masa telah terkubur dalam ruang gelap. Tenaganya tenaga kegelapan. Semakin kita cuba memahami, ia semakin menyesatkan. Mungkinkah jasad dinafikan wajah dan suara? Teks, bunyi, imej dan suara menindih ruang, jasad dan panggung, kadang-kadang melimpah ke sisi panggung dan ke atas penonton. Agitasi seiras propaganda – propaganda yang mematikan; percaya atau enggan percaya sama sahaja – pembohongan memenuhi kegelapan yang tidak pernah dikenali atau mahu dimengertikan.

Cahaya datang daripada teks; bukan sebaliknya! Kemodenan, modernity, harus dicurigai – ia sang kudus bukan pembawa khabar syurgawi. Kerana bulan itulah mentari malam (kalau pun kita mahu percaya). Imej muncul daripada lolongan-lolongan anjing atau jasad-jasad yang tersisa. Masa telah menjadi sia-sia. Kesia-siaan menjadi batas waktu yang tanpa penghujung. Paradoks dan simpang-siur menjadi satu, menyatu bersama jasad-jasad, di atas panggung dan di bawah panggung. Seluruhnya hanyalah pentas, semua orang berlakon atau dilakonkan. Semua kesedaran hanya palsu. Pembohongan, kesedaran dan propaganda memenuhi panggung merayap-rayap di atas penonton. Panggung dan penonton menyatu – semuanya dibayangi kegelapan dan kesuraman; semua kita berbohong dengan mentera-mentera kesucian. Skrip diusung menjadi taubat sang pengarah. Dan pelakon-pelakon duduk menyaksikan penonton. Ia sebuah spectacle, suatu tontonan yang mengasyikkan tapi bohong. Alam belum jungkir balik tetapi saat-saat itu akan tiba, sedetik lagi tetapi bukan di atas pentas. Sebaliknya ia hadir di muka pintu, di luar panggung.

Jika makna hadir di sini dan bergerak – dari mana mahu ke mana ia mengembara?

Makna tidak hadir di alam fikiran; ia telah meloncat keluar dari teks, bunyi, cahaya dan gerak. Dari semua arah makna hadir dan ke semua arah ia pergi. Makna enggan bersatu di hati atau di atas teks, bunyi, cahaya dan gerak. Makna mahu hidup sendiri, ada nadi dan nafas sendiri tetapi ia tiada jasad. Ia terawang-awang, bukan di atas panggung tetapi di luar fikiran penonton. Tanda dan makna tercerai-cerai. Pengarah telah gagal kerana makna telah lari dari skrip; aturan bergerak tanpa makna lagi. Warna juga mati, terpisah makna, kerana ruang gelap menfanakan kepalsuan. Not-not muzik sudah tidak harmoni. Tarian keasyikan bergerak dari panggung ke atas penonton – sejenis perselingkuhan yang abadi. Semua hukum dilanggar; semuanya menjadi hukuman demi hukuman tetapi di sinilah keasyikan (ecstasy dan hedonism) – disorder sebagai order. Pentas menjadi ruang tari; jasad-jasad menjadi tiub-tiub warna. Kanvas itu sebuah gedung pewayangan (spectacle) yang dicari selepas menyaksikan, bukan sewaktu menonton. Ia kekal atau hilang, 1 atau 0. Logika perduaan (binary logics), sesuatu yang palsu tetapi nyata, bukan logika drama (dramatic logic) yang dipaksakan. Di sini ruang pembebasan. Makna terbang dari fikiran ke fikiran, kembali melalui asakan-asakan bunyi, warna, gerak dan lampu. Tontonan sekadar lakonan; ia bukan anugerah tetapi festival pendemokrasian makna. Semua orang menjadi pengarah, skrip, pelakon dan spectacle. Alam mengalami atomisasi melampau, semuanya cair; kod dan konvensi tidak dikenali. Putih bukan lawannya hitam. Gelap bukan bezanya terang. Bunyi bukan lawannya sunyi. Semuanya simpang siur.

Ini alam baru, semuanya tenaga, semuanya ruh yang bergentayangan. Semuanya kebaruan (novelty) dan kita baru sahaja dilahirkan dengan kementahan. Tiada beban tetapi kreativiti, beban kreativiti, beban penafsiran. Tetapi ia juga permainan dan khayalan. Ia tidak melekat, ia hanya hadir dan terus hadir (kepada yang mahu dan tidak mahu – semuanya harus menjadi mahu). Kita, manusia, semuanya tukang angguk, tiada protes. Di sini bukan jalan cerita dan tiada permasalahan dan tiada pula jawapan. Kebingungan adalah kekuatan dan tenaga. Pencarian adalah perjalanan. Pertanyaan menjadi ilmu, menjadi skrip dalam fikiran penonton. Ia kesementaraan yang tidak terjangkau tetapi dialami. Ia adalah khayalan simbol dan simbolisasi. Perwakilan tanpa keterwakilan.

Utan Kayu, Jakarta 2 Ramadhan 1426

** sebuah teks yang tidak pernah siap tetapi tiba-tiba diterbitkan dari Tanjung Aru, Sabah (4 Disember 2005); tidak layak dibaca kecuali mereka yang menikmatinya ;)

Monday, November 28, 2005

Mendung idea

Sudah lebih dua tahun saya ditekan kemelut ini -- beban menulis yang "ganjil". Saya tidak mahu, jiwa meronta-ronta, tetapi saya terpaksa dan memaksa diri...

Dengan mudah, orang menyebut gejala ganjil ini "hadangan penulis" atau writer's block.

Kononnya kes pertama dialami oleh penyair era Romantik berbangsa Inggeris Samuel Taylor Coleridge, seperti disebut dalam buku notanya pada 1804.

"So completely has a whole year passed, with scarcely the fruits of a month. -- O Sorrow and Shame.... I have done nothing!" (dipetik dari 'Blocked: Why do writers stop writing', New Yorker, 14-21 Jun 2004)

Coleridge, pengasas aliran Romantisme Inggeris bersama William Wordsworth, dikenali melalui sajak-sajaknya pada usia 20-an. Keluhannya tadi ditulis sewaktu ulang tahun hari lahirnya ke-32. Dia juga terjerat dengan ketagihan dadah.

Sajaknya ini 'Work without Hope', antaranya, berbunyi:

And I the while, the sole unbusy thing,
Nor honey make, nor pair, nor build, nor sing
.

John Stuart Mill, pemikir liberal yang berpengaruh besar, pernah menulis tentang Coleridge pada 1840:

"The influence of Coleridge, like that of Bentham, extends far beyond those who share in the peculiarities of his religious or philosophical creed.

"He has been the great awakener in this country of the spirit of philosophy, within the bounds of traditional opinions. He has been, almost as truly as Bentham, 'the great questioner of things established'; for a questioner needs nor necessarily be an enemy."

Jeremy Bentham, tokoh utama liberalisme abad 18 dan 19 di Inggeris, yang disebut oleh J S Mill ini dekat dengan bapanya, James. Mereka digelar 'philosophical radicals'.

Kumpulan penulis aliran Simbolik di Perancis menjadi korban kedua gejala "berhenti menulis dengan serius; menulis sebagai satu kepuasan hidup", bukan sekadar kerjaya atau 'cari makan'.

Paul Valery, prolifik pada usia 20-an, pula mengambil masa santai selama 20 tahun (selepas itu) untuk kembali menulis selepas "menyelami proses fikirannya sendiri", artikel majalah New Yorker dipetik.

Beliau sendiri pernah menyebut: "Puisi tidak pernah selesai, hanya dibiarkan terabai", a poem is never finished, only abandoned.

Kalau boleh saya mahu sekali menulis setiap minggu kepada Malaysiakini.com (kolum 'Tiada Noktah', terakhir Ogos lalu), Mstar.com.my (kolum baru 'Pojok', hanya dua kali sejak Oktober lepas), Ummahonline.com (kolum 'Pub', tiada bahan baru) dan beberapa terbitan lain tetapi, ... :(

Namun beban dan tekanan sebagai penulis kolum dan penulis bebas tidaklah tertanggung oleh tubuh saya yang kurus kering ini. Saya harus terus menulis jika begitulah kehendak dan janji dengan editor. Tetapi memaksa diri menulis jauh lebih berat daripada memikul segunung batu!

Jiwa tertekan, semua idea mengalir lesu tersendat-sendat, tidak ada yang jernih dan berfokus. Mendung panjang memuncak dalam fikiran.

Sunday, November 13, 2005

Serbelloni

Menjejakkan kaki ke Bellagio, ... fuh. Luar biasa!

Daerah kecil di sebuah tanjung (atau semenanjung) di tasik Como, utara Milan, Itali. Daerah yang memukau penyair dan seniman (sejak zaman Renaissance) dan juga tokoh-tokoh besar Eropah. Saya kutip sedikit ceritanya seperti di bawah:

The peninsula of Bellagio extends with the town and its suburbs, on the banks, the false plain and on the hills which precede the northern extremity of the Larian promontory.

For its position it has stupendous views of a large part of the lake with its mountains.

Due to its excellent walks and its 800 beds for tourists Bellagio is one of the most famous resorts on the lake of Como ( Lario).

About 150,000 visitors per year come to Bellagio to lose themselves in the characteristic little steep streets which house many shops or in the romantic gardens of Villa Melzi or in those of Villa Serbelloni.

The particular fascination of Bellagio conquered poets and artists ever since the Renaissance and ever since the nineteenth century a great number of well known foreign visitors have visited it from Shelley to Longfellow and from Stendhal to Flaubert and Liszt
.

Cerita lengkapnya di sini. Satu foto lagi Villa Serbelloni lihat di sini pula. Sementara pekan kecil yang romantik, dingin dan mengasyikkan ini di sini.

Pengalaman ini sangat menarik -- diskusi hangat dengan teman-teman dari Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara, beberapa profesor dan ahli akademik muda, selain isu-isu hubungan wacana agama yang membina apa yang kita gelar "Islam".

Daerah indah ini, dengan makanannya dan tentu cewek-cewek manis, membuka gelora intelektual yang membara -- pencerahan yang menyala-nyala.

Nota: Kedua-dua foto itu Villa Serbelloni tempat kami berdiskusi. Foto teratas dan paling bawah diambil dari laman web Yayasan Rockefeller.

Wednesday, November 09, 2005

Korban sosial

Rahman (bukan nama sebenar) dituduh penganut Syiah, sebuah aliran tradisi agama yang cukup tua tetapi sering dikepung oleh Ahlul Sunnah wal Jama’ah. Namun di negara kita, menganut Syiah juga bermakna wajar dipenjarakan atau layak didiskriminasikan.

Seorang pensyarah pengajian Islam di kampusnya pernah mengesyaki anak muda 22 tahun ini seorang yang ‘tidak mempercayai Tuhan’ atau lebih ilmiah, atheist.

Rahman menjadi ‘korban sosial’ dalam masyarakat akademia kita, sama ada siswa apatah lagi pensyarah, yang tidak meminati falsafah dan menutup siri-siri persoalan yang masih berdenyut-denyut di kepala.

Tiada yang tidak pasti – semuanya ada jawapan, begitu masyarakat beranggapan, sedang dirinya sendiri masih bergelombang dengan pilihan-pilihan hidup atau mazhab agama.

Dalam pencariannya yang sepi, di sebuah dunia yang tidak mesra ujikaji akliah, dia sering berjumpa pensyarah-pensyarah. Tentu untuk bertanya, meredakan keresahan yang ditanggung sendirian. Pasti dia juga – ini memang syarat wajib dalam pencarian – membeli buku-buku dan majalah-majalah, antaranya Siasah (tidak lagi beroperasi).

Semua pensyarah itu, kecuali satu atau dua, mendominasikan ideologi ilmu dan perspektif (ulang: ilmu, di sini, sebagai ideologi) masing-masing sebagai ‘jawapan’. Ada pula yang pantang dicabar atas kepejalan sekelumit pengetahuan yang mereka paksakan untuk ditelan mahasiswa.

Sementara temannya, sebut sahaja Bakar, tidak meminati falsafah tetapi menumpukan perhatian pada karya-karya sastera Melayu. Minat yang tidak ada pada Rahman ini membolehkan Bakar berkongsi keterasingan yang sama kerana majalah ini (sempat diterbitkan selama setahun mulai pertengahan 2002) mencantumkan falsafah, seni, agama, sastera, hiburan pop dan isu-isu semasa.

Semuanya bermula lebih giat di sebuah kampus kecil di Nilam Puri pada tahun majalah itu diterbitkan. Tidak terduga sama sekali, ramai juga anak muda berjaya disesatkan oleh majalah kecil yang tidak luas edaran ini, rupa-rupanya! Teks lengkap, lihat mstar.com.my (8 Nov 2005)


* * * * * *

Kata 'buka', selain pakaian, memang sentiasa menggoda. Termasuk 'berbuka' puasa, khususnya di siang hari.

Di Indonesia, sempena promosi Ramadhan, sebuah syarikat rokok terkenal menulis iklannya seperti berikut: “Sekalinya ditutup, langsung pada buka”. Di bawah teks ini, foto kaki-kaki beberapa pengunjung warung yang duduk di atas sebuah bangku panjang.

Indahnya negara jiran kita, warung di pinggir jalan, termasuk warung Tegal (warteg) dan rumah makan Padang, hanya perlu menutup pintu dan tingkap kacanya dengan kain.

Seolah-olah menikmati makanan di dalam sebuah kubu pertahanan perang, anda dan orang lalu lalang tidak nampak antara satu sama lain – kecuali kasut dan selipar anda!

Pengunjung boleh menikmati makanan, minuman dan rokok sepuas-puasnya tanpa perlu takut pada cemuhan masyarakat atau diserbu pegawai jabatan agama seperti di negara kita.

Malaysia tidak ada budaya warung bertutup pada bulan puasa sebab kemungkinan makan secara terbuka telah lama tertutup. Sesiapa yang enggan berpuasa harus membeli, dengan malu-malu, di restoran dan makan di tempat tersembunyi, selalunya rumah sendiri. Teks lengkap, lihat mstar.com.my (17 Okt 2005)

Saturday, October 15, 2005

Seksrangga

Saya cemburu, terus terang sahaja!

Melihat koleksi foto ini, saya cemburu. Saya hanya ada 3 jenis serangga dalam adegan mengghairahkan ini.

Satu daripadanya sumbangan teman Eric, pacar Ayu, sepasang belalang kunyit sedang melampiaskan nafsu sewaktu bertenggek di sebuah ranting.

Satu lagi, sepasang lalat (tanpa malu, sewaktu kami sedang minum teh tarik dan berdiskusi politik, di Bangsar Utama) tiba-tiba singgah menayangkan aksinya di sisi kertas Mingguan Malaysia (tidak silap, 2004).

Dan, terakhir, sejumlah aksi sepasang kekasih kumbang pasir (yang saya ambil fotonya di taman belakang rumah saya di Pasir Panjang) pada 2002.

Mungkin sejenis 'kumbang harimau' [foto yang disediakan di link ini tidak begitu berkualiti, sayang] yang wujud di kawasan berpasir di California, Amerika Syarikat. Wajah dan bentuknya sama, jadi pasti, kumbang pasir di rumah saya itu termasuk dalam keluarga Cicindelidae.

Tetapi satu laman web What's That Bug memiliki koleksi yang jauh lebih menarik, dengan kualiti imej yang (wow!) mengkagumkan.

Lihatlah, saya benar-benar kagum dan sekali gus jealous!!!

Kelmarin, di Plaza Indonesia, saya bertemu Ayu dengan Eric di sebuah restoran masakan Cina. Ayu akan ke Iowa, Amerika Syarikat malam ini.

Saya menyerahkan sebuah buku Insect Lives: Stories of mysteries and romance from a hidden world (1999) tentang serangga yang hidup seperti 'manusia' atau social insects, termasuk babak-babak senggama. Mungkin untuk bahan-bahan penulisan kreatifnya.

Kami sering juga mendiskusikan sifat-sifat senggama, dan sosialisasi, binatang, termasuk serangga-serangga.

Dari dulu lagi (1991), saya tahu binatang kecil yang kita namakan serangga ini memang 'manja'.

Dulu, waktu itu, saya sudah mula jatuh cinta. Atau kini disebut entophile. Maklum, kami ini pelajar entomologi dan harus membuat koleksi 50 species serangga.

Aduh, siapa ada koleksi foto 'seksrangga' atau 'insex'? Boleh serahkan pada saya? :)

Lihat foto kiri, bukan sahaja senggama tetapi pesta seks, orgy! Lima ekor 'kaboi', kata orang Utara dan kami juga, sedang yang keenam agak kelambatan, mungkin akibat traffic jam!

Dalam buku di atas, dijelaskan bentuk-bentuk penderaan (atau keganasan) seks sewaktu pasangan serangga mencapai puncak kenikmatan masing-masing.

Selalunya akan ditemui beberapa lubang (luka) di bahagian kepala. Ada yang memakan kepala jantannya sehingga asmara diteruskan dalam keadaan pasangannya tiada kepala! Sementara itu, didapati serangga (jantan) juga membawa 'hantaran kahwin' untuk memikat pasangannya!

Nota: Semua foto lucah ini dicuri daripada laman web (c) Whatsthatbug.com.

Untuk peminat seksrangga, kumbang atau rama-rama (juga kepada mereka yang geli-geleman melihat serangga, entophobic), sila pelajari lagi di sini atau cuba di sini.

Untuk pemula, sebuah buku dalam bahasa Melayu terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP, 1992) Serangga dan Manusia karya Mohd Salleh Mohd Said sangat informatif dan lucu, juga.

Atau, lawat Muzium Serangga tertua di negara kita; ini pula foto kaedah menangkap serangga air (UGM, Jogjakarta)

Wednesday, October 12, 2005

Lebaran sentimen

Tidak lama lagi Hari Raya Puasa (atau, sebut sahaja Lebaran atau 'Idul Fitri).

Tetapi kenapa harus ada exodus pulang ke kampung? Kemudian, kenapa pula harus ziarah kubur? Hari untuk menyambut fitrah diri (yang baru) atau hari 'berjiwang'?

Lebaran dan sentimentalitinya, fuh..., membosankan! Jiwangnya ... orang Melayu.

(c) foto ketupat ini dicuri daripada laman web Fairy.Mahdzan.com

Tuesday, October 04, 2005

Kesedaran palsu

Bolehkah kesedaran kita membohongi diri kita sendiri?

Jika kita bermimpi dan tidak pernah bangun daripada tidur, apakah yang nyata -- mimpi itu atau kesedaran diri di luar alam tidur?

Saya, entah mengapa, tiba-tiba tergoda dengan ungkapan 'kesedaran palsu' atau false consciousness; asalnya dipromosikan oleh pemikir-pemikir Marxist.

Tetapi saya tidaklah tertarik pada soal-soal kapitalisme atau modal atau kelas seperti lazim difahami dalam kerangka fikir Marxist; cuma saya tergoda (sekali lagi!) dengan 'ideologi dominan' dan 'hegemoni budaya' selain 'fetishisme' (bukan sekadar komoditi).

Saya tertarik sekali pada permainan kuasa sosial (kolektif atau awam) dalam membentuk wacana, bahasa dan budaya.

Lagi-lagi seperti menurut beberapa pemikir, antara lain, Jurgen Habermas, Pierre Bourdieu [foto kiri], Michel Foucault, Karl Popper atau Lutwig Wittgenstein (sekadar beberapa nama).

Semua orang -- saya fikir -- mengusung kesedaran yang palsu. Atau, mungkin juga Tuhan menidurkan kita dengan kepalsuan hidup ini supaya kita tidak menemui-Nya? Supaya kita terus meraba-raba?

Saya fikir ... ada yang tidak beres dalam diri manusia. Kenapa, ya? Tuhan membingungkan manusia?

Friday, September 09, 2005

Tempo bawah tanah

Sesiapa yang berminat mendalami sejarah media (majalah) independen di sebuah negara yang tidak demokratik (Indonesia era Orde Baru), sila lihat buku ini, Wars Within (2005).

Dalam bab 9 buku diceritakan bagaimana sikap pemimpin sidang pengarang Tempo, Goenawan Mohamad, menghadapi saat-saat getir apabila majalah mingguan berpengaruh ini diharamkan pada 1994.

Dari saat inilah munculnya kumpulan yang dikenali 'Komunitas Utan Kayu' di Jalan Utan Kayu No 68-H. Menarik diteliti bagaimana wartawan dipaksa oleh keadaan untuk bertindak sebagai aktivis 'bawah tanah'.

Bacalah buku ini, pasti menarik!

Untuk ulasan buku ini di akhbar Jakarta Post, lihat di sini (26 Jun 2005); Kompas pula di sini (17 September) dan Sinar Harapan (16 Julai)

Tuesday, September 06, 2005

Komunitas 'tanpa' Utan Kayu

Update: Dua lagi berita tentang hal yang telah dilaporkan sebelumnya di bawah, Akhirnya jalur hukum disepakati (Kompas.com, 6 September 2005) dan Sekelompok orang desak tutup kantor JIL (Kompas.com, 6 September 2005)

Komunitas Utan Kayu, sebuah perkumpulan yang dibangunkan selepas majalah berpengaruh besar Tempo diharamkan pada 1994, beberapa hari lalu didesak dibubarkan atau "keluar dari Utan Kayu".

Utan Kayu sebuah daerah di kecamatan Matraman di Jakarta Timur.

Radio 68H, sebagai organisasi media bersama Komunitas ini, juga digesa dibubarkan, selain sebuah lagi kumpulan diskusi agama Jaringan Islam Liberal (JIL).

Malam ini, malam terakhir kata dua itu berakhir -- yang disampaikan oleh sekelompok warga masyarakat di sini -- dalam pertemuan antara wakil-wakil JIL dan Radio 68H pada hujung minggu lalu, 4 September.

Tekanan ini dipercayai merebak selepas keluarnya 11 fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Julai lalu yang mengharamkan umat Islam menganut sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Lihat di sini Menyikapi perbedaan pasca-fatwa MUI (transkrip Radio 68H)

Pada awal Ogos, JIL telah diduga akan diserbu oleh sekumpulan radikal Islam atas nama Forum Umat Islam (FUI) -- dipercayai didalangi Front Pembela Islam (FPI), sebuah kelompok radikal yang mengambil undang-undang di tangan sendiri -- tetapi serbuan itu gagal kerana Komunitas dipertahankan oleh beberapa ratus anggota polis, sukarelawan NU, aktivis demokrasi dan penduduk setempat.

Petang tadi diadakan sidang akhbar di sini, antaranya dihadiri oleh Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan kanan Tempo [foto kanan] yang mendirikan Komunitas ini, Saiful Mujani daripada JIL, wakil pemuda Muhammadiyah (sebuah organisasi besar selepas Nahdhatul Ulama), Khairil Astrapradja ketua camat Matraman dan Syamsul Alam ketua rukun warga (RW) di sini.

Pemimpin utama JIL sebelum ini Ulil Abshar-Abdalla menyambung pelajaran di Amerika Syarikat pada awal bulan ini.

Dalam sistem pembahagian geografi dan pentadbiran di sini, sesebuah kecamatan mempunyai beberapa kelurahan (di sini keluarahan Utan Kayu utara) dan di bawahnya dipecahkan kepada rukun-rukun warga.

Dalam sidang akhbar itu, Goenawan menjelaskan sejarah berdirinya Komunitas ini sejak Orde Baru bagi mempertahankan kebebasan berfikir dan bersuara. Beliau juga menegaskan sikap Komunitas ini yang enggan tunduk pada tekanan-tekanan seumpama ini, di luar proses hukum.

Enam pernyataan bersama Komunitas Utan Kayu dibacakan oleh Goenawan seperti berikut:

1. Kami, segenap pekerja kebudayaan, media dan pendidikan di Komunitas Utan Kayu, akan tetap mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan berfikir dan bersuara, seperti yang dijamin UUD (Undang-Undang Dasar).

2. Kami menolak dan mengecam upaya-upaya untuk membungkam perbezaan pendapat dalam bidang pemikiran dan keagamaan.

3. Kami percaya bahawa perbezaan pendapat adalah sebuah rahmat dari Allah SWT, dan penting bagi proses demokrasi di republik kita.

4. Kami tidak bisa menerima sesiapa pun atau kelompok apa pun yang mengatas-namakan Tuhan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang apa lagi dengan ancaman mahu pun cara-cara kekerasan.

5. Kami tidak akan membiarkan kekerasan dan kesewenang-wenangan maharajalela, sebab [langkah] ini akan membawa Indonesia ke dalam hukum rimba dan anarki.

6. Kami menyerukan agar aparatur (pihak berkuasa) negara menjaga tertib hukum seperti diamanatkan konstitusi (perlembagaan).

Komunitas ini terdiri daripada beberapa organisasi atau unit lain, selain Radio 68H dan JIL, galeri Lontar, Teater Utan Kayu, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), toko buku Kalam, jurnal kebudayaan Kalam, perpustakaan Utan Kayu dan kafe Kedai Tempo.

Baca juga: JIL tidak akan dibubar (Tempointeraktif, 6 Sept) dan juga beberapa pautan di forum AstoraJabat.com.

Kronologi peristiwa (terkini):

2 September - di masjid berdekatan dengan Komunitas warga setempat didesak untuk mendukung pelarangan liberalisme seperti fatwa MUI

4 September - sekumpulan 30 orang yang menamakan diri mereka Forum Umat Islam (FUI) Utan Kayu menganjurkan demonstrasi di Komunitas Utan Kayu. Sepanduk mereka, antaranya, berbunyi "Kami mendukung fatwa MUI dan desak Muspika Matraman untuk mengusir JIL dan antek-anteknya", "JIL haram, darah Ulil halal"

- demonstrasi ini (yang tiba-tiba) diadakan sejurus sebelum pertemuan (anjuran Radio 68H) bertujuan meredakan dan menjelaskan beberapa isu negatif yang berkembang sejak terbitnya fatwa MUI terbabit.

- turut hadir dalam pertemuan itu, selain beberapa wakil stesen radio dan JIL, ketua camat, polis dan ketua warga.

- dalam pertemuan itu, wakil FUI Utan Kayu menggesa Muspika (musyawarah pimpinan kecamatan) Matraman membubarkan Radio 68H, JIL dan Komunitas Utan Kayu

5 September - wakil FUI Utan Kayu ke Komunitas dengan menawarkan 'langkah rundingan baru', yakni stesen radio boleh terus beroperasi tetapi JIL harus dibubarkan. Jika syarat ini dipenuhi, wakil itu berjanji Komunitas Utan Kayu tidak akan diserang oleh FPI (Front Pembela Islam)

6 September (hari ini) - malam ini tarikh akhir untuk beberapa pihak untuk menurunkan tandatangan mendukung desakan FUI Utan Kayu. Sebarang kejadian tidak diingini tidak dijamin oleh FUI Utan Kayu, saya dimaklumkan.

Monday, September 05, 2005

JIL 'diserang' (lagi)?

Kelihatannya golongan radikal Islam di Indonesia belum berpuas hati pada Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah perkumpulan diskusi agama di Komunitas Utan Kayu (KUK), Jakarta Timur.

Kelmarin malam, wakil kelompok Front Pembela Islam (FPI) -- yang sering menyerang beberapa tempat yang tidak disenanginya dan baru-baru ini (Ogos) menutup beberapa geraja di Jawa Barat [data yang relevan di sini] -- datang bertemu wakil Radio 68H, sebuah stesen radio yang memuatkan berita dan satu rangkaian KUK.

Wakil-wakil JIL juga hadir tetapi wakil FPI tidak bersedia berdialog; sebaliknya kelompok radikal ini hanya mengecam dan memburuk-burukkan JIL dan, malah, mendesak organisasi Islam Liberal ini dibubarkan.

Saya dimaklumkan, JIL enggan menurut kemahuan front itu kerana ia tidak percaya pada proses menundukkan perbezaan pandangan melalui langkah secara tekanan massa kecuali melalui proses hukum (diputuskan di mahkamah).

FPI kini mengambil langkah lain, saya dimaklumkan, dengan menggunakan (membawa imej) bahawa masyarakat sendiri yang mahu tindakan tertentu dilakukan, misalnya membubarkan JIL atau menutup gereja, walau sebetulnya mereka sendiri menjadi dalang di belakangnya.

Pertemuan kelmarin (4 September) diadakan di KUK selepas beberapa anasir FPI di sebuah masjid berdekatan telah cuba mempengaruhi penduduk setempat, antaranya pada Jumaat 2 September. Sebuah lagi masjid di sini, di seberang sungai kecil dari KUK, bagaimanapun lebih demokratik dan Rukun Warga (RW), semacam Rukun Tetangga (RT) di negara kita, di kawasan ini juga pro-kebebasan bersuara.

Sebetulnya, selain kelompok-kelompok NGO (atau, LSM, lembaga swadaya masyarakat) tidak menyenangi kaedah-kaedah keganasan FPI, beberapa kumpulan masyarakat juga (di banyak tempat di Jakarta) tidak selesa dengan kehadiran taktik keras dan paksa front tersebut.

FPI, untuk makluman semua, umumnya berkembang di Jakarta sahaja, sementara usaha kekerasan di beberapa kawasan lain di luar ibu kota ini mengalami perlawanan daripada kumpulan-kumpulan masyarakat lain. FPI juga dikatakan mendapat dukungan (atau kerjasama) beberapa anasir dalam organisasi tentera (militer) Indonesia.

Untuk makluman, penggunaan kekerasan oleh kumpulan radikal Islam di Indonesia sering terjadi, sama ada sewaktu pemerintah Orde Baru atau selepas kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 [lihat juga di sini].

Selain itu, lihat analisa ilmiah Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia (2000) dan juga sebuah buku Warisan Orde Baru (Mei 2005, suntingan Stanley) terbitan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), sebuah lagi organisasi yang bergabung bersama KUK.

Pada 5 Ogos lalu, JIL dan KUK telah bersiap sedia menerima 'serangan' (yang diramalkan waktu itu) Forum Umat Islam (FUI) -- di belakangnya FPI -- yang kononnya mendukung 11 fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) di negara kita -- yang melarang umat Islam menganut sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Saya telah membawa sejumlah berita, sebagai pengetahuan latar yang mendorong peristiwa tersebut, di laman forum AstoraJabat.com (sila klik). Di sini saya cerita, antaranya, kecaman Ulil Abshar-Abdalla [foto kanan], pemimpin utama JIL yang kini menyambung pelajaran di Amerika Syarikat.

Namun, hari Jumaat yang 'tegang' tidak menyaksikan pertembungan dua kumpulan: kelompok pendukung demokrasi yang bersama JIL dan KUK, dan satu lagi FUI yang sudah berkumpul di masjid al-Azhar dan bergerak ke daerah Utan Kayu selepas solat Jumaat. Saya berada di tempat kejadian.

Esok (Selasa, 6 September)**, sebulan selepas itu, dengar khabarnya FPI akan berkunjung lagi ke KUK -- juga (desas-desus) untuk 'menyerang' JIL.

Saya tiada maklumat lengkap saat ini. Jika ada perkembangan terbaru, saya akan laporkan di sini.

** Nota: Sayangnya, saya akan pulang 7 September.

Saturday, September 03, 2005

Tanpa selamat tinggal

Mungkinkah kita mencari dunia dengan belanja yang murah? Tanpa jauh berkembara, kita boleh mengenali dunia ini dengan lebih mudah dan bermakna?

Saya fikir 'ada'. Jawapannya, yang saya temui, Jakarta!

Sebuah kota Dunia Ketiga yang padatnya hampir separuh penduduk Malaysia, di negara keempat (atau, kelima?) yang berpenduduk paling padat di dunia. Dengan sejarah simpang-siur budaya dan pemikiran yang jauh kaya, rencam dan membingungkan.

Ya, berkelana di Jakarta selama sembilan bulan (lebih tepat, 11 bulan) membuka ufuk pengetahuan dunia yang luar biasa -- sesuai untuk anak muda atau mahasiswa yang mencari perkembangan intelektual dengan langkah singkat, murah tetapi kaya dan mendalam.

Mungkin saya [boleh dituduh] berlebihan atau fanatik atau romantis. Tetapi saya fikir tidak. Saya berpada-pada sahaja.

Jika anda masuk ke toko-toko buku Kinokuniya di KLCC atau MPH di Mid-Valley (atau Damansara), anda tidak perasan seluas mana dunia intelektual sejagat.

Tetapi jika anda masuk ke toko-toko buku Indonesia, anda akan berkenalan dengan sejumlah besar pengarang dunia, aliran pemikiran, debat idea dan ungkapan-ungkapan ilmiah yang membuka mata (akal).

Jakarta mungkin menjadi 'Paris dunia Melayu' seperti kota Eropah itu bermakna pada Zaman Pencerahan, seumpama Singapura menjadi pulau pertemuan aktivis dan pemikiran Asia Tenggara era perang pada pertengahan abad ke-20, tidak jauh Baghdad dan ilmunya pada era keemasan tamadun Islam.

Di Kuala Lumpur, ada dua toko buku yang membantu anda mengenali Indonesia -- Pustaka Antara di Kompleks Wilayah (Jalan Dang Wangi) dan Pustaka Indonesia di depan Masjid India (Jalan Tuanku Abdul Rahman).

Pustaka pertama memperkenalkan budaya, sastera dan pemikiran Indonesia, sementara pustaka kedua lebih sarat dengan wacana agama, khususnya aliran fundamentalisme agama.

Namun, Jakarta menawarkan lebih banyak pilihan -- mungkin lebih rencam dan meriah daripada buku-buku yang ditawarkan oleh Kinokuniya dan MPH di Kuala Lumpur.

Sudah lama saya jatuh hati pada Jakarta, sudah lama saya mengintainya dari seberang Selat Melaka tetapi kota ini (baca: buku dan pemikirannya, termasuk yang dipindah masuk) sering memeranjatkan saya.

Tidak perlu jauh-jauh, jika malas membaca buku berbahasa Inggeris (yang juga mahal), singgahlah ke mari, ke Jakarta -- sebuah kota yang .... [aduh sayang, ... saya kehilangan kata-kata untuk meluahkan isi hati ini].

Ya, tidak mungkin semua dunia ada di sini tetapi setidak-tidaknya separuh dunia berhimpun di sini -- dunia buku, tokoh-tokoh dan sejumlah diskusi ilmiah-aktivisme, kekacauan dan kepincangan sosial (kejahilan, penyakit dan kemelaratan hidup), rasuah, kebejatan politik dan elit (termasuk keganasan dan kejahatan pasukan tentera), bencana alam, harga diri manusia, dan ... dan ...

Wow, terima kasih Jakarta. Terima kasih teman-teman, terima kasih Komunitas Utan Kayu. Terima kasih mas, mbak, pak dan ibu!

Empat hari lagi saya ingin menghirup bau teh tarik, nasi dagang dan semerbak peluh cewek Jalan Telawi (foto bawah). Wow!

Perlukah ucap "selamat tinggal" untukmu, Jakarta?

Nota: Orang Melayu pernah berkata "tempat jatuh lagi dikenang, ini 'kan pula tempat membaca!"

Foto-foto ruang makan di Jalan Telawi (c) Sixthseal.com, cewek Indonesia diambil dari laman web majalah (c) Popular, sementara kulit depan jurnal (c) Inside Indonesia dan bajaj [paling atas] dari web Living in Indonesia (semuanya diterbitkan kembali tanpa keizinan. Jika ada bantahan, sila e-melkan kepada saya) Logo kecil (c) Nippon Foundation, penaja program zamalah API

Thursday, September 01, 2005

Menderhaka! 3x

Malam tadi, menjelang 31 Ogos, kepala saya berdengung-dengung dengan kata-kata "menderhaka!", "menderhaka!", "menderhaka!".

Sekali dengar kata-kata ini sama sahaja dengan "merdeka!", "merdeka!", "merdeka!".

Apakah inti kemerdekaan itu ke-menderhaka-an?

Seorang teman blog Shin Shin mengirim sejumlah soalan (sembilan semuanya) yang menarik kepada beberapa teman blog yang lain, antaranya kami saling mengenali seperti Ong BK dan Zulhabri. Teman-teman blog yang lain termasuklah Rajan Rishyakaran, Tauke Fooji, Emmanuel Joseph, Sharizal Sharaani dan Politics 101

Berikut saya salin kembali jawapan saya kepada dua soalan pertama:

Shin: The British have left the country for 48 years, but many of their policies including the notorious Internal Security Act (ISA), divide and rule, restrictions on mother tongue education are still largely intact. In the aspects of press freedom and local elections, it’s much worse than it was 48 years ago. In your opinion, are we truly independent?

Fathi: I guess the issue is becoming a cliché, almost every year we ask and argue the same question – for instance, “are we independent”? [laughing] We have to recognise a simple fact that a democracy (or, politics in any country) is a complex, dynamic process.

So if you have already achieved a comparatively freer political setting, it does not necessarily last long.

If you study the history of post-colonial Burma and the Philippines, you can see such dynamics. If you look at Indonesia’s post-Soeharto democracy, it will appear to you that a democracy is relative.

I am not an apologetic to the Malaysian current state of political affairs, but we can say that freedom has to be fought for over and over. It is not static, ‘given’ once and for all!

Democracy, even when it is practised democratically, can have paradoxes, problems and contradictions. See Frank Cunningham’s Theories of Democracy: A Critical Introduction (2003).

Shin: Many including former teachers in Malay College Kuala Kangar (MCKK) hold the opinion that, the level of national unity and academic results were much better when the medium of instruction was English. Once it was switched to Bahasa, it’s downhill all the way. Does this mean the national language cannot unite the citizens efficiently ?

Fathi: I don’t think the issue is language, bahasa Malaysia or English. I prefer to say the pivotal issue here is democratic freedom. Read George Orwell’s brief comment on this issue, Politics and the English Language (1946). For the New Order’s Indonesian control of language and thoughts, we may refer to this latest book, Social Science and Power in Indonesia (2005).

If you can’t express many things, if you cannot explore your creative freedom freely (literature, for example), if you have some ideas but no effective medium of public expression and exchange (no free press or academic freedom), if our society kills debate and critical thinking, if intellectuals fail (or refuse) to challenge the powers that be (that is, no serious debates on matters of public importance), what is happening to our language?

I tend not to agree with the former teachers in MCKK. I guess they perceive these issues wrongly or narrowly.

I notice bahasa Malaysia can be a medium of excellence too. But when our freedom and democracy are slowly eroded, a decade after another (see these important dates: post-May 13, 1969, the 22-year rule under Dr Mahathir Mohamad and post-1998 political crises), what has happened to our language use and our thoughts?

Even English-speaking Malays and Malaysians, urbanites and professionals, are ’stupid’ (or: shallow, conservative, uncritical and ignorant)!

Do you read ‘letters section’ of Malaysiakini.com – and do you think these English-speaking letter writers are ‘good’? Have you noticed how people express and argue in The Star, The New Straits Times and even Kakiseni.com?

Even those who study overseas (Malays or non-Malays) are more or less inflicted with this Malaysian disease of mediocrity! Language use is not about words and vocabulary. It is about ideas and how you relate, analyse, what is happening around you (societal realities).

Language and excellence are not spontatenous. People, here, assume (repeat: assume) English is more superior to bahasa Malaysia because the former is more intellectually developed and internationally recognised.

But when you try to transmit the intellectuality of English to a lesser democratic environment (when you are subjected to unfair, conservative, undemocractic constraints) – it may have different impact. It is the context of intellectuality (or intellectual development) in a certain political climate that provides the excellence of language use (and, thoughts).

But language can be a good (and very effective, too!) tool for thought-control, propaganda and misinformation. See Murray Edelman’s The Politics of Misinformation (2001, 2004) and Pierre Bourdieu’s Language and Symbolic Power (1991, 2001).

If you ask some Malay intellectuals, who can use equally well bahasa Malaysia and English, e.g. Rustam A Sani, Hishamuddin Rais or Khalid Jaafar — they will agree with me. That is, nothing is special in English-speaking Malays’ (or, non-Malays’) discourse and understanding.

What I try to conclude is simple indeed — it is democratic freedom, not the language use, which hinders excellence.

You said: “Once it was switched to Bahasa, it’s downhill all the way.” But can you also notice the downhill of our democratic space?

[Shin: Yes, definitely…]

Fathi: So, I believe there is strong correlation between political authoritarianism (especially the 22-year rule of Dr Mahathir’s), plus religious fundamentalism, and thought-control and language use.

I try to explain, though still simple and inadequate, in some of my pieces in my Malaysiakini.com column, e.g. ‘Akar Umbi Pembodohan Umno’ (23 August 2003), ‘Politik dan Kejahatan Berbahasa’ (8 August 2005) and the most recent one ‘Kebodohan Umum di Indonesia’ (22 August 2005).

If you read my book Patah Balek: Catatan Terpenting Reformasi (Feb 2005), you will notice that the issues are dealt with quite extensively.

I still believe, none the less, that my analyses are still superficial. I try to remind people that we have to deal with these issues (i.e. language, public discourse and thought control) because they are equally important in our democratic struggle; not cases of human rights violations only (for instance).

Untuk enam lagi soalan dan jawapan teman-teman blog yang lain, sila ke laman web My Shin Shin, siri 1 (Apakah kita sudah merdeka?), siri 2 (Bahasa, kecemerlangan), siri 3 (Politik perkauman, pendidikan dan perpaduan), siri 4 (Kontrak sosial) dan siri 5 (Islam, perlembagaan dan hak asasi).

Nota: Jeff, terima kasih banyak-banyak kerana mengambil inisiatif wawancara ini. Elok jika dapat dikongsikan kepada khalayak pembaca dan teman-teman blog yang lain. Dan ... maaf juga kerana jawapan-jawapan saya yang "kurang ajar" ... hehehe Saya sangka asal kata merdeka itu menderhaka! Maaf, ya Jeff ...

Anda tidak perlu bersetuju dengan pandangan saya, atau kami, dan silakan nyatakan suara anda di ruangan komentar di penjuru kanan (bawah) selepas ayat terakhir ini ...

Wednesday, August 31, 2005

Aduh, kenapa begini?

Sejak tahun ini, dari berita-berita yang saya baca dari tanah seberang, sekatan-sekatan ceramah politik pembangkang, khususnya PAS, semakin menjadi-jadi.

Tindakan keras yang terbaru (26 Ogos) termasuklah terhadap beberapa pemimpin tinggi parti Islam ini, juga bekas pemimpin kerajaan negeri, di sebuah masjid di Batu Enam, Kuala Terengganu.

Foto ini (Abdul Hadi Awang sedang keperitan menahan gas pemedih mata) sudah bukti yang tidak menarik untuk dipandang, apatah lagi disebarkan.

Beliau ini mantan menteri besar, dan kini (sejak dulu) ketua pembangkang di Dewan Undangan Negeri, apakah rasa hormat seumpama ini sudah hilang?

Insiden ini mengingatkan saya pada kekerasan politik era 1980-an, di Lubuk Merbau dan Memali.

Namun nampaknya polis (pasti atas arahan orang politik) bertindak JAUH di luar batasannya. Saya mencadangkan kes-kes pencabulan ini dibawa ke Suruhanjaya Hak Asasi Manusia (Suhakam) dan juga ke mahkamah.

PAS juga wajar mengirim nota bantahan yang keras kepada ketua polis negeri, Ketua Polis Negara, Menteri Dalam Negeri dan juga Perdana Menteri.

Sikap-sikap kerajaan, atau jenteranya, tidak akan membina budaya politik yang sihat, akan melambatkan proses demokrasi berwacana (discursive democracy atau disebut juga deliberative democracy) dan malah akan membiakkan benih-benih radikalisme dan ekstremisme.

Saya juga mencadangkan isu larangan berceramah ini (sejak Julai 2001 ke?) harus ditangani dengan bijaksana dan serius.

Memang menjadi hak semua parti politik -- apatah lagi sebuah parti Melayu berpengaruh besar seperti PAS yang pernah mentadbir Terengganu -- untuk menyampaikan idea-idea politiknya kepada orang ramai, termasuk melalui Harakah (organ parti yang ditarik permitnya kepada dua kali sebulan daripada izin asal dua kali seminggu).

Apa pun alasan dan justifikasinya, tindakan ini sangat melampau!

Merdeka! Merdeka? Merdeka??

Foto Abdul Hadi di atas, asalnya di laman web Harakahdaily.net (30 Ogos), diambil dari ruangan forum Tranungkite.net (30 Ogos 2005). Foto kedua dari Harakahdaily.net (30 Ogos).