September, 21 2006 @ 06:26 pm Demokrasi Ala Warung Kopi
Ada yang luput dari amatan publik, bahwa dibalik acara-acara luar biasa yang acapkali digelar mahasiswa, atau berdirinya organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok diskusi, serta munculnya pemikiran baru dari penulis-penulis muda yang belakangan ini marak, sesungguhnya semua itu berawal dari diskusi kecil-kecilan di warung-warung kopi sekitar kampus.
Warung kopi seolah menjadi kampus alternatif bagi para mahasiswa. Dengan segelas kopi seharga dua batang rokok, mereka bisa duduk berjam-jam untuk membicarakan apa saja yang tidak dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang kuliah. Mulai dari perhelatan politik kampus, membedah kebijakan universitas yang dipandang tidak berpihak pada mahasiswa, hingga pada persoalan politik-kenegaraan yang sedang menghangat.
Para mahasiswa tidak perlu takut mengeluarkan gagasannya, sebab di warung kopi kebebasan berbicara benar-benar dilindungi. Ancaman nilai, drop out, tidak akan mampu menghentikan cangkruan di warung-warung kopi. Mereka terus melakukan diskusi, pagi, siang, sore, dan bahkan, hingga larut malam, para mahasiswa silih berganti datang ke warung kopi.
Biasanya mereka duduk bergerombol sesuai dengan kelompoknya, para aktivis organisasi ekstra kemahasiswaan duduk menurut organisasinya masing-masing, lembaga intra semacam HMJ selalu duduk bersama teman seprofesinya, mahasiswa pecinta alam, aktivis sanggar. Bahkan tidak ketinggalan turut meramaikan ritual warung kopi adalah vokalis ternama band-band kampus dengan gitaris dan drumernya yang selalu menenteng drum stick kemana-mana.
Saya tidak tahu secara pasti kapan ritual itu dimulai, namun yang jelas, hampir di seluruh kampus para mahasiswa selalu kecanduan ngopi dan berdiskusi. Saya katakan "hampir", karena ada beberapa kampus yang belum sempat saya kunjungi, mengingat lebih dari separuh waktu saya tersita untuk melanggengkan ritual tadi.
Di warung kopi, demokrasi seolah menemukan momentumnya. Salah satu organisasi sebuah kampus di kota Malang misalnya, membentuk kelompok diskusi yang kemudian di beri nama Kopi (Komunitas Pinggiran). Mereka selalu melakukan diskusi di warung kopi tertentu tentang apa saja yang dipandang penting. Bahkan beberapa buku sempat lahir dari para aktivis Kopi.
Tidak hanya kajian ilmiah yang mereka lakukan, melainkan teori-teori yang mereka pelajari acapkali disandingkan dengan data-data yang mereka miliki. Tak jarang diskusi itu berujung pada aksi masa. Mirip seperti gagasan Mandlle yang menyerukan pentingnya penyatuan "teori dan praktek" dalam pidatonya di depan utusan konggres Socialist Party International yang digelar di Amerika pada pertengahan 1955.
Dengan cara yang khas, para mahasiswa tadi selalu bisa merancang suasana seperti yang diinginkan. Perhelatan intelektual yang mereka lakukan mengingatkan kita pada kisah Taman Academos yang menjadi cikal bakal pilar demokrasi yang terletak di timur laut kota Athena. Sebuah taman yang dibangun oleh pemerintahan Athena untuk menghormati jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perang Troya.
Di Taman Academos ini para pemikir Yunani kerap kali berkumpul untuk melakukan diskusi dan perhelatan intelektual. Di forum ini kebebasan berpendapat - bahkan untuk menghujat pemerintahan - dilindungi.
Hanya saja Warung-warung kopi kampus tidak sehetrogen Taman Academos yang belakangan tidak hanya diminati oleh para pemikir Yunani, melainkan negarawan, dan bahkan rakyat jelatapun acapkali beradu argumen dengan para pemikir tadi. Warung kopi hanya sekedar menjadi tempat homogen yang disesaki para mahasiswa, sementara dosen dan jajaran birokrat kampus lainnya terkesan enggan untuk berbaur dengan mereka.
Entah takdir apa yang menyekat dimensi kehidupan itu, padahal jika para dosen tadi turut serta dalam ritual warung kopi, setidaknya akan timbul ikatan emosional antar mereka. Para dosen bisa menjelaskan kebijakan kampus yang dipandang miring oleh mahasiswa secara santai, tanpa diselimuti dengan atmosfir formalitas yang acapkali terjadi dalam gelar hearing antara perwakilan mahasiswa dengan pengambil kebijakan, disaat ada persoalan kampus. Dengan begitu, dosen tidak saja mempunyai kesempatan untuk menemani para mahasiswa ngopi, melainkan bisa mendampingi mereka memasuki dimensi keilmuan lebih jauh.
Jika para dosen tadi tidak punya banyak waktu disebabkan lebih asik menggarap proyek-proyek penelitian, ada baiknya mereka tidak mencibir ritual warung kopi, sebab sangat mungkin, dari balik warung kopi akan muncul filosof-filosof masa depan.
Sejarah kerapkali membuktikan bahwa Ide-ide besar semacam pendirian SMID (1992), deklarasi STN (1993), SRI (1994), FNPBI (1998), PRD (1996), FMN (1996),dan bahkan strategi untuk menghindari penangkapan yang dilakukan 'Tim Mawar' Komando Pasukan Khusus pada akhir Juli 1996 hingga awal januari 1997 dirancang oleh aktivis PRD di warung-warung kopi.
Pada titik inilah warung kopi seolah menemukan momentumnya, yaitu tempat dimana demokrasi dengan karakternya yang khas telah tumbuh subur. Atau setidaknya tempat ini telah dijadikan alternative untuk melakukan rembesan demokrasi di negri ini.
Tak makan tak pe..tapi jgn tak minum. tak menang tak pe..tapi jgn tak lawan. Tapi kalau tak boleh menang buat apa lawan..ye tak? so..kena la lawan... sampai la menang - sepatah kata cik wan.Eh!..nak lawan apa ni? hahaha.
2 comments:
September, 21 2006 @ 06:26 pm
Demokrasi Ala Warung Kopi
Ada yang luput dari amatan publik, bahwa dibalik acara-acara luar biasa yang acapkali digelar mahasiswa, atau berdirinya organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok diskusi, serta munculnya pemikiran baru dari penulis-penulis muda yang belakangan ini marak, sesungguhnya semua itu berawal dari diskusi kecil-kecilan di warung-warung kopi sekitar kampus.
Warung kopi seolah menjadi kampus alternatif bagi para mahasiswa. Dengan segelas kopi seharga dua batang rokok, mereka bisa duduk berjam-jam untuk membicarakan apa saja yang tidak dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang kuliah. Mulai dari perhelatan politik kampus, membedah kebijakan universitas yang dipandang tidak berpihak pada mahasiswa, hingga pada persoalan politik-kenegaraan yang sedang menghangat.
Para mahasiswa tidak perlu takut mengeluarkan gagasannya, sebab di warung kopi kebebasan berbicara benar-benar dilindungi. Ancaman nilai, drop out, tidak akan mampu menghentikan cangkruan di warung-warung kopi. Mereka terus melakukan diskusi, pagi, siang, sore, dan bahkan, hingga larut malam, para mahasiswa silih berganti datang ke warung kopi.
Biasanya mereka duduk bergerombol sesuai dengan kelompoknya, para aktivis organisasi ekstra kemahasiswaan duduk menurut organisasinya masing-masing, lembaga intra semacam HMJ selalu duduk bersama teman seprofesinya, mahasiswa pecinta alam, aktivis sanggar. Bahkan tidak ketinggalan turut meramaikan ritual warung kopi adalah vokalis ternama band-band kampus dengan gitaris dan drumernya yang selalu menenteng drum stick kemana-mana.
Saya tidak tahu secara pasti kapan ritual itu dimulai, namun yang jelas, hampir di seluruh kampus para mahasiswa selalu kecanduan ngopi dan berdiskusi. Saya katakan "hampir", karena ada beberapa kampus yang belum sempat saya kunjungi, mengingat lebih dari separuh waktu saya tersita untuk melanggengkan ritual tadi.
Di warung kopi, demokrasi seolah menemukan momentumnya. Salah satu organisasi sebuah kampus di kota Malang misalnya, membentuk kelompok diskusi yang kemudian di beri nama Kopi (Komunitas Pinggiran). Mereka selalu melakukan diskusi di warung kopi tertentu tentang apa saja yang dipandang penting. Bahkan beberapa buku sempat lahir dari para aktivis Kopi.
Tidak hanya kajian ilmiah yang mereka lakukan, melainkan teori-teori yang mereka pelajari acapkali disandingkan dengan data-data yang mereka miliki. Tak jarang diskusi itu berujung pada aksi masa. Mirip seperti gagasan Mandlle yang menyerukan pentingnya penyatuan "teori dan praktek" dalam pidatonya di depan utusan konggres Socialist Party International yang digelar di Amerika pada pertengahan 1955.
Dengan cara yang khas, para mahasiswa tadi selalu bisa merancang suasana seperti yang diinginkan. Perhelatan intelektual yang mereka lakukan mengingatkan kita pada kisah Taman Academos yang menjadi cikal bakal pilar demokrasi yang terletak di timur laut kota Athena. Sebuah taman yang dibangun oleh pemerintahan Athena untuk menghormati jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perang Troya.
Di Taman Academos ini para pemikir Yunani kerap kali berkumpul untuk melakukan diskusi dan perhelatan intelektual. Di forum ini kebebasan berpendapat - bahkan untuk menghujat pemerintahan - dilindungi.
Hanya saja Warung-warung kopi kampus tidak sehetrogen Taman Academos yang belakangan tidak hanya diminati oleh para pemikir Yunani, melainkan negarawan, dan bahkan rakyat jelatapun acapkali beradu argumen dengan para pemikir tadi. Warung kopi hanya sekedar menjadi tempat homogen yang disesaki para mahasiswa, sementara dosen dan jajaran birokrat kampus lainnya terkesan enggan untuk berbaur dengan mereka.
Entah takdir apa yang menyekat dimensi kehidupan itu, padahal jika para dosen tadi turut serta dalam ritual warung kopi, setidaknya akan timbul ikatan emosional antar mereka. Para dosen bisa menjelaskan kebijakan kampus yang dipandang miring oleh mahasiswa secara santai, tanpa diselimuti dengan atmosfir formalitas yang acapkali terjadi dalam gelar hearing antara perwakilan mahasiswa dengan pengambil kebijakan, disaat ada persoalan kampus. Dengan begitu, dosen tidak saja mempunyai kesempatan untuk menemani para mahasiswa ngopi, melainkan bisa mendampingi mereka memasuki dimensi keilmuan lebih jauh.
Jika para dosen tadi tidak punya banyak waktu disebabkan lebih asik menggarap proyek-proyek penelitian, ada baiknya mereka tidak mencibir ritual warung kopi, sebab sangat mungkin, dari balik warung kopi akan muncul filosof-filosof masa depan.
Sejarah kerapkali membuktikan bahwa Ide-ide besar semacam pendirian SMID (1992), deklarasi STN (1993), SRI (1994), FNPBI (1998), PRD (1996), FMN (1996),dan bahkan strategi untuk menghindari penangkapan yang dilakukan 'Tim Mawar' Komando Pasukan Khusus pada akhir Juli 1996 hingga awal januari 1997 dirancang oleh aktivis PRD di warung-warung kopi.
Pada titik inilah warung kopi seolah menemukan momentumnya, yaitu tempat dimana demokrasi dengan karakternya yang khas telah tumbuh subur. Atau setidaknya tempat ini telah dijadikan alternative untuk melakukan rembesan demokrasi di negri ini.
By: Lukman Hakim
Tak makan tak pe..tapi jgn tak minum. tak menang tak pe..tapi jgn tak lawan. Tapi kalau tak boleh menang buat apa lawan..ye tak? so..kena la lawan... sampai la menang - sepatah kata cik wan.Eh!..nak lawan apa ni? hahaha.
Post a Comment