Sunday, November 25, 2007

Turun ke jalan

Oleh GOENAWAN MOHAMAD

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak. Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai.

Jalan raya adalah sejarah politik.

Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.

Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu rampung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak.

Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai.

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.

Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat, ”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah politik.”

>>>> Teks lengkap dan lebih asyik di blog Caping (Catatan Pinggir)

Saturday, November 24, 2007

Pramoedya: Sejarah, Novel dan Politik Pembebasan

Forum Pramoedya: Sejarah, Novel dan Politik Pembebasan
Tarikh: 24 November 2007 (Sabtu)
Masa: 8 malam
Tempat: Dewan Perhimpunan Cina Selangor, Jalan Maharajalela, Kuala Lumpur

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), merupakan sasterawan Indonesia yang terkenal di mata dunia. Beliau telah menghasilkan lebih 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

Beliau merupakan tokoh penulisan yang berhaluan kiri, karyanya menyampaikan pemikiran progresif yang menentang penjajahan dan pemerintahan zalim. Karyanya yang mendapat sambutan hebat termasuklah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, yang ditulisnya semasa dalam penahanan di Pulau Buru.

Pramoedya pernah ditahan selama tiga tahun pada zaman penjajah, setahun semasa pemerintahan “Orde Lama” Soekarno dan 14 tahun semasa pemerintahan “Orde Baru” Soeharto. Beliau ditahan selama 18 tahun secara total.

Beliau ditahan pada masa Orde Baru bersama ribuan orang atas tuduhan memihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). “Had Pramoedya Ananta Toer been a Soviet dissident he would have received the Nobel Prize, but his status as a literary master is secure and, unlike some Latin American contemporaries, he remained unapologetic throughout his life.” - Tariq Ali


Ahli Panel:

Topik: Sejarah dalam Tangan Pramoedya: Revolusi belum selesai

Max Lane, seorang penulis, penyelidik dan penterjemah yang berasal dari Australia. Beliau mempunyai pengalaman lebih 36 tahun bekerja di Indonesia, Singapura dan Filipina. Hasil kerja beliau terbaru adalah penterjemahan karya Pramoedya, Arok Dedes, ke dalam bahasa Inggeris, Arok of Java. Beliau juga banyak menulis tentang pergerakan masyarakat di Indonesia, termasuklah buku terbaru beliau, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Suharto.


Topik: Politik anti-perkauman Pramoedya

Sumit Mandal, penyelidik di Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS) UKM

Anjuran: Parti Sosialis Malaysia (PSM) & Community Development Centre (CDC)
Masuk: Percuma

Sebarang pertanyaan sila hubungi pejabat PSM (03) 22 74 77 91 atau Chon Kai 019 566 95 18

Monday, November 19, 2007

Yang 'setan' dalam diri sasterawan

Milan Kundera, novelis yang terkenal dan 'ganjil' itu, bingung memikirkan bagaimana seniman Perancis boleh mendukung kezaliman politik di (bekas) negaranya sendiri, Czechoslovakia.

Penyair yang dikaguminya Paul Eluard secara terbuka dan megah mengalu-alukan tindakan pemerintah Prague yang mengirim seorang seniman republik tersebut ke tali gantung.

Kata Kundera: This episode (I wrote about it in The Book of Laughter and Forgetting) hit me like a trauma: when an executioner kills, that is after all normal; but when a poet (and a great poet) sings in accompaniment, the whole system of values we considered sacrosanct has suddenly been shaken apart.

[Terjemahan: Episod ini (saya tulis hal ini dalam The Book of Laughter and Forgetting) menyentak saya seperti satu trauma: Apabila seorang algojo membunuh, hal ini tidaklah terlalu menghairankan; tetapi apabila seorang penyajak (apatah lagi seorang penyair besar) menyanyikan sokongannya, seluruh sistem nilai (benar-palsu, baik-buruk) yang kita anggap mulia tiba-tiba rebah berkecai.]

Kejadian inilah, antara sebab, beliau mengarang novel Life is Elsewhere (1970), karya tentang Jaromil, penyair muda yang berjiwa muda dan sarat kespontanan dan ghairah hidup. Namun di lehernya terjerut bayang-bayang kawalan si ibu (Maman namanya), sang setia yang tertipu suami sendiri yang tergila-gilakan cewek Yahudi.

Jaromil, yang idealis dan pro-ideologi kiri lama, ingin menerbitkan sajak-sajak lirik sebagai simbol keghairahan mudanya yang spontan dan 'jiwang' tetapi tidak menyedari bahawa politik anutannya itu telah menghalangnya. Paradoks jiwa.

Jaromil, anak muda yang sakit, ada waktunya kejam dan melalui lidah Kundera, kita mengenali wataknya: "But his [Jaromil's] monstrosity is potentially contained in us all. It is in me. It is in you."

[Terjemahan: Tetapi kesetanan dia [Jaromil] ini mungkin juga tumbuh di dalam diri kita. Di dalam diri saya. Di dalam diri anda sendiri.]

Kundera, ganjil juga, tidak mahu seratus peratus menyalahkan sistem politik komunisme. Dia malah berhujah, ideologi itu sekadar menolong mencetuskan jiwa jahat dan rakus manusia seperti Jaromil (yang seperti kita juga!), penyair muda yang menikam dari belakang kekasihnya sendiri semata-mata, konon, mahu mempertahankan kepentingan negara dan ideologi anutannya.

Seniman, penulis kreatif dan pemikir – pada mata Czeslaw Milosz – bukanlah makhluk agung; jauh sekali nabi-nabi atau orang suci. Mereka ini pernah mengirim manusia ke penjara dan tali gantung; malah menolong membersihkan darah-darah dan dosa-dosa di tangan si diktator.

Milosz (baca: Miwas) pemenang Nobel sastera 1980, seumpama Kundera, sedar manusia seni seperti mereka boleh berbuat apa sahaja, menjadi malaikat atau syaitan, nabi dan algojo. Pilihlah, kita mahu menjadi apa?

Dalam karya besarnya The Captive Mind (1953), selepas lari dari Poland, sebuah lagi negara yang menjadi korban di tangan komunisme selepas jenuh bergelut menentang Hitler, Milosz mencatatkan semua bentuk kekejian kaum seniman, sasterawan, budayawan dan intelektual.

Mereka boleh berbuat apa sahaja – termasuk membunuh, bukan sahaja kerjaya, tetapi jasad! Kerjaya rakan-rakan sendiri yang sama-sama berjuang menjadi porak-peranda, prasangka berkembang biak, demi mendaki tangga-tangga kerjaya di sebuah negara tidak demokratik.

Nilai baik atau buruk, semangat setiakawan, hancur.

Yang masih jujur, harus menelan ludah kebenaran di halkum sendiri; hilang rasa yakin untuk terus hidup bersama sebagai kelompok pemikir yang sedar dan ada harga diri – semata-mata kerana, memang, politik sudah menjadi terlalu sempit dan kesetiaan pada Negara (baca juga: ideologi) harus mutlak.

Milosz melarikan diri ke Amerika Syarikat tidak lama selepas tamat Perang Dunia kedua, kemudian menerbitkan karya kreatifnya itu. Dia sudah tidak sanggup berpura-pura bertemankan takiyyah (istilah Milosz, ketman) – satu-satunya semangat palsu untuk bertahan hidup.

Sama seperti gambaran Kundera, semua watak dalam catatan 'minda terpasung' Milosz seakan-akan ada di tengah-tengah kita, di kalangan sasterawan, seniman, ahli akademik, pemikir dan wartawan kita.

Ngeri, walau tanpa komunisme, negara kita berjaya membiakkan kaum intelektualnya seburuk Poland dan Czechoslovakia. "But his [Jaromil's] monstrosity is potentially contained in us all. It is in me. It is in you."

Thursday, November 15, 2007

Fiqh Perempuan

Pada mulanya saya sangka buku Fiqh Perempuan yang diharamkan. Tetapi tidak pasti buku Fiqh Perempuan yang mana satu kerana judul lengkapnya dan nama pengarangnya tidak diberikan dalam berita tersebut.

Isnin lalu, Bahagian Kawalan Penerbitan dan Teks Al-Quran di Kementerian Keselamatan Dalam Negeri mewartakan perintah larangan itu menurut Seksyen 7(1) Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984.

Kemudian, seorang teman KsJT menyebutkan pengarang tersebut, seorang kiai dari Indonesia, yang pernah saya temui di Petaling Jaya beberapa bulan lepas. "Husein Muhammad," katanya.

Lalu saya pun menyemak semula judul buku tersebut. Rupa-rupanya buku ini Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender telah disaran untuk dilarang oleh Jawatankuasa Penapisan Bahan-bahan Penerbitan Berunsur Islam (dipengerusikan oleh Harussani Zakaria) sejak Jun 2005.

Dan memang pengarangnya KH* Husein Muhammad !!! Buku ini terbitan LKiS Yogyakarta, pada 2001.

Setahu saya buku yang sama diterbitkan kembali dengan judul Fiqh Wanita: Pandangan Ulama Terhadap Wacana dan Gender. Dan penerbitnya, tidak lain dan tidak bukan, Sisters in Islam (SIS). Lihat di sini (no 19).

Alamak, macam mana Zai?

* KH ertinya kiai haji

Tuesday, November 13, 2007

Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah

Mataharitimoer: Jihad Terlarang Adalah Pergulatan Pribadi Saya

Saya trauma dan sakit hati melihat elite pergerakan saya yang mengatasnamakan Islam demi kepentingan sendiri. Mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam, dan NII sudah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Mereka menganggap kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan lebih mengandalkan kekerasan ketimbang dialog.

Dianggap ”murtad” dari pergerakan Negara Islam Indonesia (NII), Mahataharitimoer justru menunaikan janji untuk menerbitkan sebuah novel otobiografis yang menggugah. Dalam Jihad Terlarang, Cerita dari Bawah Tanah (Kayla Pustaka, 2007), ia mengungkapkan pergulatan batinnya ketika masih menjadi aktivis pergerakan. Berikut wawancara Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal dengan Mataharitimoer tentang novelnya dan suasana inside NII, di Radio 68H Jakarta, 29 Agustus lalu.

Bung MT, judul novel Anda, Jihad Terlarang, cukup provokatif dan merangsang rasa ingin tahu. Apa sesungguhnya yang mendorong Anda menulis novel ini?

Selama kurang lebih sepuluh tahun saya aktif di sebuah pergerakan Islam garis keras. Tapi setelah itu saya berpikir, apakah pergerakan yang saya ikuti ini benar dasar-dasar perjuangannya? Kenapa mereka begitu mudah mengkafirkan orang—bahkan orangtua kita sekalipun—jika tidak bergabung ke dalam gerakan ini? Itu ditambah lagi banyaknya friksi di tubuh pergerakan yang saling sengketa.

Akhirnya, saya memilih keluar. Tapi keluarnya pun tidak mudah. Terjadi konflik batin yang berat dan panjang. Kalau keluar, berarti saya murtad, tidak lagi dianggap Islam. Belum lagi tekanan dari teman-teman yang bertahun-tahun jalan bersama saya. Mereka tahu ke mana saja saya ngumpet. Tapi pada akhirnya, sebuah kondisi memaksa saya harus pergi. Tapi ada hal penting yang ingin saya lakukan setelah keluar. Saya harus menceritakan semua ini kepada semua orang, agar mereka tidak terjebak seperti saya. Itulah sebabnya mengapa saya menulis novel Jihad Terlarang ini.

Spesifiknya, pergerakan apa yang Anda maksudkan?

Kebetulan yang saya ikuti adalah gerakan NII, Negara Islam Indonesia.

Kenapa dulu Anda tertarik mengikuti pergerakan NII?

Saya masuk pergerakan ini ketika saya mengikuti sebuah organisasi remaja masjid. Di situ saya mengikuti pengajian-pengajian yang rutin diadakan seminggu sekali. Pengajian itu memberikan wawasan baru pada saya yang kala itu masih SMA kelas satu. Pengajiannnya pun berbeda. Zaman dulu, kita tahu, yang namanya ngaji ya umumnya membaca Alquran saja. Tapi kok pengajian ini lain?! Di sana saya diajari sejarah Islam dan tafsir-tafsir Alquran; hal yang tidak saya dapatkan sebelumnya. Nah, saya merasa ada hal baru di sana. Saya merasakan sebuah dunia yang baru sama sekali.

Apakah itu sangat memukau bagi orang yang punya hasrat besar untuk belajar Islam seperti Anda?

Sangat memukau! Pada saat itu rekrutmen belum terjadi. Mereka (para perekrut anggota baru NII) masih dalam tahap melakukan pengkondisian pemikiran melalui materi-materi pengajian.

Proses perekrutan Anda sendiri bagaimana?

Ketika beberapa kali pengajian berlangsung, diam-diam para pencari bakat dari belakang memperhatikan anak-anak yang potensial untuk direkrut. Biasanya anak-anak yang berpikiran kritislah yang dibidik. Nah, saya termasuk anak yang mereka inginkan. Ketika sasaran sudah ditentukan, mereka melakukan pendekatan persuasif kepada saya. Sering saya dikerubung oleh tiga orang langsung untuk dipersuasi. Dari sana saya diarahkan untuk menjadi kader yang militan.

Anda dibidik karena dinilai cerdas dan kritis. Mengapa kecerdasan dan kritisisme dijadikan kriteria utama dalam melihat calon target?

Mereka memang mencari kader yang cerdas dan kritis; sosok-sosok yang ingin mengetahui sesuatu yang baru, yang selalu tidak puas dengan tatanan lama. Di samping itu, ia harus memiliki antusiasme perjuangan terhadap agamanya. Ia diharapkan bisa menjadi kader potensial ketika sudah tergabung dalam pergerakan.

Setelah direkrut, apakah anda lantas merekrut yang lain juga?

Ya, selalu begitu. Setiap orang yang telah bergabung selalu mempunyai target. Dalam satu bulan, target bisa mencapai puluhan orang. Semua kader diwajibkan untuk berdakwah fi sabilillah. Rekrutmen adalah dakwah mereka yang paling nyata.

Kalau Anda ingat-ingat lagi, apa rahasia masih terus eksisnya pergerakan ini sampai sekarang?

Sistem kerahasiaan organisasinya begitu kuat. Para kader tidak pernah mengetahui siapa pemimpin di atasnya. Pergerakan ini menggunakan sistem sel atau multilevel marketing. Saya sendiri tidak pernah tahu siapa pemimpin-pemimpin utama di atas saya. Yang saya kenal hanyalah nama-nama samaran. Fakta inilah yang membuat gerakan ini terus eksis sampai hari ini dan cukup aman. Terbukti aparat tidak pernah bisa menghabisinya.

Setiap organisasi yang militan biasanya punya ideologi untuk mengukuhkan militansi para anggotanya. Apa ideologi yang memompa semangat bertindak dalam organisasi Anda?

Ada sebuah kalimat yang selalu menjadi ruh bagi semua aktivis NII. Kalimat itu adalah lâ ilâha illalLâh (tiada tuhan selain Allah). Kalimat tauhid itulah yang memompa kita untuk senantiasa berjuang mewujudkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan kita. Jika kita tidak melakukannya, berarti kita belum berjihad. Semangat seperti itu didukung oleh buku-buku yang memang direkomendasikan para atasan. Salah satunya adalah buku yang berjudul Tauhid, karya Ismail Raji Al-Faruqi.

Lalu, apa misi tertinggi untuk mewujudkan keyakinan semacam itu?

Misinya adalah mendirikan negara Islam di Indonesia. Tanpa negara Islam, kita dianggap masih hidup dalam kekafiran. Sebab hukum yang dipakai di negara kita bukan berasal dari Alquran dan Sunnah Nabi. Dan ketika kita belum memiliki kekuatan untuk mewujudkannya, maka negara tersebut berwujud dalam bentuk sebuah gerakan ”negara” di dalam sebuah negara.

Jadi Anda dan teman-teman pernah merasa seperti berada dalam sebuah pulau terpencil, dengan ideologi tertentu, tapi masih dalam negara bernama Indonesia, ya?

Ya, benar. Dengan begitu kita langsung bisa menarik garis furqan (pembedaan) bahwa kita adalah warga negara Islam sedangkan orang lain bukan. Dan yang bukan warga negara Islam harus kita ajak untuk memasuki negara kita.

Bagaimana pergerakan Anda menilai orang yang sudah puas dengan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945?

Kita menggagap mereka belum mendapatkan hidayah. Dan dalam kepala para aktivis (NII) hanya ada dua jalan: Islam atau kafir. Tidak ada jalan tengah. Kalau bukan Islam, ya kafir. Mereka kita anggap masih hidup dalam zaman jahiliyah. Orang-orang yang kita anggap kafir itulah yang menjadi target dakwah agar memasuki negara Islam kita, dan keluar dari kekafiran.

Mengapa para kader NII begitu militan?

Pembinaan yang dilakukan pergerakan ini sangat intensif. Seminggu sekali pasti ada. Tujuannya untuk mengubah cara pandang kita tentang Islam dan negara. Dulu, militansi ditambah juga oleh sikap rezim Orde Baru yang sangat represif terhadap para aktivis Islam. Jilbab dilarang, pengajian-pengajian dikontrol, dai-dai kritis ditangkap. Suasana seperti itu justru mempertebal semangat kita untuk melakukan perlawanan dan menjadi aktivis yang militan. Perjuangan semakin menarik karena banyak tantangannya.

Apa momen-momen dramatis yang sering Anda alami?

Kita selalu berhadapan dengan intel. Hampir setiap mau melakukan aktivitas, ada saja rasa waswas: apa nanti saya tertangkap atau tidak? Pada saat itu banyak sekali penangkapan, penggerebekan, terutama terhadap orang-orang yang berkelompok untuk melakukan diskusi agama.

Apa hubungan Anda dengan NII KW-IX? Apakah anda kenal tokoh-tokoh seperti Panji Gumilang, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Sunkar, dan Ajengan Masduki?

Kami dulu kebetulan tidak berada dalam sistem KW (Komandemen Wilayah). Sistem KW itu sudah lama bangkrut. Jadi kami tidak menyebut satuan kami dengan istilah itu. Hanya orang-orang yang memang masih belum mendapat informasi yang up to date-lah yang masih mengunakan nama KW. Kelompok kami tidak tergabung dalam KW-IX. Kami mempunyai sistem sendiri yang berbeda dengan sistem KW. Cara-cara kami pun tidak sekeras seperti yang sering muncul di media-media.

Apa pendapat Anda terhadap perjuangan sejumlah kelompok Islam yang targetnya hampir mirip NII, tetapi metode perjuangannya lebih lunak, seperti partai, organisasi atau kelompok yang memperjuangkan syariat Islam di Indonesia?

Saya keluar dari NII dalam keadaan yang tidak fresh. Saya keluar dengan sebuah trauma yang mendalam. Hal itulah yang membuat saya skeptis terhadap gerakan Islam yang misinya serupa dengan NII, baik itu partai politik maupun ormas keagamaan. Saya ingin membebaskan diri dari organisasi apa pun yang semacam itu.

Trauma apa yang Anda rasakan?

Saya trauma dan sakit hati melihat elite pergerakan saya yang mengatasnamakan Islam demi kepentingan sendiri. Mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam, dan NII sudah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Mereka menganggap kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan lebih mengandalkan kekerasan ketimbang dialog.

Apakah anda tidak cemas terbitnya buku ini dicurigai sebagai propaganda intelijen?

Pada saat awal-awal penulisan Jihad Terlarang ini, saya sempat berpikir, jangan-jangan saya nanti dianggap sebagai kaki-tangan intel. Tapi sekarang saya berani menjamin, sampai detik ini saya belum pernah berhubungan dengan intel. Buku saya itu sekadar curahan hati saya, berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang pernah saya alami dulu. Jihad Terlarang adalah pergulatan pribadi saya. Tidak melibatkan pihak mana pun.

(Sumber asal: Jaringan Islam Liberal 2 Oktober 2007)

Mahu jadi pengganas?

What Makes a Terrorist
By Alan Krueger

The American.com (November/December 2007)
Filed under: World Watch, Public Square

It’s not poverty and lack of education, according to economic research by Princeton’s ALAN KRUEGER. Look elsewhere.

In the wake of the terrorist attacks on September 11, 2001, policymakers, scholars, and ordinary citizens asked a key question: What would make people willing to give up their lives to wreak mass destruction in a foreign land? In short, what makes a terrorist?

A popular explana­tion was that economic deprivation and a lack of education caused people to adopt extreme views and turn to terrorism. For example, in July 2005, after the bomb­ings of the London transit system, British Prime Minister Tony Blair said, “Ultimately what we now know, if we did not before, is that where there is extremism, fanaticism or acute and appalling forms of poverty in one continent, the conse­quences no longer stay fixed in that continent.” The Archbishop of Canterbury, Bill Clinton, Al Gore, King Abdullah of Jordan, Elie Wiesel, and terrorism experts like Jessica Stern of Harvard’s Kennedy School also argued that poverty or lack of education were significant causes of terrorism.

Even President George W. Bush, who was ini­tially reluctant to associate terrorism with poverty after September 11, eventually argued, “We fight against poverty because hope is an answer to terror.” Laura Bush added, “A lasting victory in the war against terror depends on educating the world’s children.”

Despite these pronouncements, however, the available evidence is nearly unanimous in rejecting either material deprivation or inadequate educa­tion as important causes of support for terrorism or participation in terrorist activities. Such explana­tions have been embraced almost entirely on faith, not scientific evidence.

Why is an economist studying terrorism? I have two answers. First, participation in terrorism is just a special application of the economics of occupational choice. Some peo­ple choose to become doctors or lawyers, and others pursue careers in terrorism. Economics can help us understand why.

The second answer is that, together with Jörn-Steffen Pischke, now at the London School of Economics, I studied the outbreak of hate crimes against foreigners in Germany in the early 1990s. Through this work, I concluded that poor economic conditions do not seem to motivate people to par­ticipate in hate crimes.

The modern literature on hate crimes began with a remarkable 1933 book by Arthur Raper titled The Tragedy of Lynching. Raper assembled data on the number of lynchings each year in the South and on the price of an acre’s yield of cotton. He calculated the correla­tion coefficient between the two series at –0.532. In other words, when the economy was doing well, the number of lynchings was lower. A pair of psy­chologists at Yale, Carl Hovland and Robert Sears, cited Raper’s work in 1940 to argue that deprivation leads to aggres­sion. People take out their frustrations on others, the researchers hypothesized, when economic con­ditions are poor.

While this view seems intuitively plausible, the problem is that it lacks a strong empirical basis. In 2001, Donald Green, Laurence McFalls, and Jennifer Smith published a paper that demolished the alleged connection between economic condi­tions and lynchings in Raper’s data.

Raper had the misfortune of stopping his anal­ysis in 1929. After the Great Depression hit, the price of cotton plummeted and economic condi­tions deteriorated, yet lynchings continued to fall. The correlation disappeared altogether when more years of data were added.

In 1997, Pischke and I, writing in the Journal of Human Resources, studied the incidence of crimes against foreigners across the 543 coun­ties in Germany in 1992 and 1993. We found that the unemployment rate, the level of wages, wage growth, and average education were all unrelated to the incidence of crimes against foreigners.

With evidence from hate crimes as a background, next turn to terrorism. Terrorism does not occur in a vacuum. So to start, I considered evidence from public opin­ion polls, which can help identify the values and views of those in communities from which terror­ism arises.

The Pew Research Center’s Global Attitudes Project conducted public opinion surveys in February 2004 in Jordan, Morocco, Pakistan, and Turkey, involving about 1,000 respondents in each country. One of the questions asked was, “What about suicide bombing carried out against Americans and other Westerners in Iraq? Do you personally believe that this is justifiable or not justifiable?” Pew kindly provided me with tab­ulations of these data by respondents’ personal characteristics.

The clear finding was that people with a higher level of education are in general more likely to say that suicide attacks against Westerners in Iraq are justified. I have also broken this pattern down by income level. There is no indication that people with higher incomes are less likely to say that sui­cide-bombing attacks are justified.

Another source of opinion data is the Palestinian Center for Policy and Survey Research, headquar­tered in Ramallah. The center collects data in the West Bank and Gaza Strip. One question, asked in December 2001 of 1,300 adults, addressed attitudes toward armed attacks on Israeli tar­gets. Options were “strongly support,” “support,” “oppose,” “strongly oppose,” or “no opinion.”

Support turned out to be stronger among those with a higher level of education. For exam­ple, while 26 percent of illiterates and 18 per­cent of those with only an elementary education opposed or strongly opposed armed attacks, the figure for those with a high school education was just 12 percent. The least supportive group turned out to be the unemployed, 74 percent of whom said they support or strongly back armed attacks. By comparison, the support level for merchants and professionals was 87 percent.

Related findings have been around for a long time. Daniel Lerner, a professor at MIT at the time, published a book in 1958 called The Passing of Traditional Society in which he collected and analyzed data on extremism in six Middle Eastern countries. He concluded that “the data obviate the conventional assumption that the extremists are simply the have-nots. Poverty prevails only among the apolitical masses.”

Finally, the Palestinian survey included ques­tions about whether people were optimistic for the future. Responses suggested that, just before the outbreak of the second intifada, the Palestinian people believed that the economic situation was improving—a judgment consistent with the fall­ing unemployment rate at the time. The intifada, then, did not appear to be following dashed expec­tations for future economic conditions.

Public opinion is one thing; actual participation in terrorism is another. There is striking anecdotal evidence from Nasra Hassan, a United Nations relief worker in the West Bank and Gaza Strip who described interviews with 250 militants and their associates who were involved in the Palestinian cause in the late 1990s. Hassan concluded that “none of them were uneducated, desperately poor, simple-minded, or depressed. Many were middle class and, unless they were fugitives, held paying jobs. Two were the sons of millionaires.”

Claude Berrebi, now of the RAND Corporation’s Institute for Civil Justice, wrote his dissertation at Princeton on the characteristics of Palestinians from the West Bank and Gaza Strip who were involved in terrorist activities. For example, he compared suicide bombers to the whole male pop­ulation aged 16 to 50 and found that the suicide bombers were less than half as likely to come from families that were below the poverty line. In addi­tion, almost 60 percent of the suicide bombers had more than a high school education, compared with less than 15 percent of the general population.

Jitka Malecková and I performed a similar study of militant members of Hezbollah, a multifaceted organization in Lebanon that has been labeled a ter­rorist organization by the U.S. State Department. We were able to obtain information on the biogra­phies of 129 deceased shahids (martyrs) who had been honored in the group’s newsletter, “Al-Ahd.” We turned translations by Eli Hurvitz at Tel Aviv University into a data­set and then combined it with information on the Lebanese popu­lation from the 1996 Lebanese Ministry of Social Affairs Housing Survey of 120,000 peo­ple aged 15 to 38.

These deceased mem­bers of Hezbollah had a lower poverty rate than the Lebanese population: 28 percent versus 33 percent. And Hezbollah members were better educated: 47 percent had a secondary or higher education ver­sus 38 percent of adult Lebanese.

This is also the case, apparently, with al-Qaeda. Marc Sageman, a forensic psychiatrist and former Central Intelligence Agency (CIA) case officer, has written a book titled Understanding Terror Networks. He found that a high proportion of mem­bers of al-Qaeda were college educated (close to 35 percent) and drawn from skilled professions (almost 45 percent). Research on members of the Israeli extremist group, Gush Emunim, that Malecková and I conducted, also pointed in the same direc­tion. Perhaps most definitively, the Library of Congress produced a summary report for an advi­sory group to the CIA titled, “The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why?” which also reached this conclusion—two years before 9/11.

Why are better educated, more advan­taged individuals more likely than others to join terrorist groups? I think of terrorism as a market, with a supply side and a demand side. Individuals, either in small groups or on their own, supply their services to terrorist organizations.

On the supply side, the economics of crime suggests that people with low opportunity costs will become involved in terrorism. Their costs of involvement are lower—that is, they sacrifice less because their prospects of living a rich life are less. In other domains of life, it is those with few oppor­tunities who are more likely to commit property crime and resort to suicide.

However, in the case of the supply of terrorists, while consideration of opportunity cost is not irrel­evant, it is outweighed by other factors, such as a commitment to the goals of the terrorist organi­zation and a desire to make a statement. Political involvement requires some understanding of the issues, and learning about those issues is a less costly endeavor for those who are better educated. I argue that better analogies than crime are vot­ing and political protest. Indeed, better educated, employed people are more likely to vote.

On the demand side, terrorist organizations want to succeed. The costs of failure are high. So the organizations select more able participants—which again points to those who are better educated and better off economically.

One of the conclusions from the work of Laurence Iannaccone—whose paper, “The Market for Martyrs,” is supported by my own research—is that it is very difficult to effect change on the supply side. People who are willing to sacrifice themselves for a cause have diverse motivations. Some are motivated by nationalism, some by religious fanati­cism, some by historical grievances, and so on. If we address one motivation and thus reduce one source on the supply side, there remain other motivations that will incite other people to terror.

That suggests to me that it makes sense to focus on the demand side, such as by degrading terrorist organizations’ financial and technical capabili­ties, and by vigorously protecting and promoting peaceful means of protest, so there is less demand for pursuing grievances through violent means. Policies intended to dampen the flow of people willing to join terrorist organizations, by contrast, strike me as less likely to succeed.

The evidence we have seen thus far does not foreclose the possibility that members of the elite become terrorists because they are outraged by the economic conditions of their countrymen. This is a more difficult hypothesis to test, but, it turns out, there is little empirical sup­port for it.

To investigate the role of societal factors, I assembled data on the country of origin and tar­get of hundreds of significant international terrorist attacks from 1997 to 2003, using infor­mation from the State Department. I found that many socioeconomic indicators—including illiteracy, infant mor­tality, and GDP per capita—are unrelated to whether people from one country become involved in terrorism. Indeed, if anything, measures of economic deprivation, at a country level, have the opposite effect from what the popular stereotype would predict: international terrorists are more likely to come from moderate-income countries than poor ones.

One set of factors that I examined did consis­tently raise the likelihood that people from a given country will participate in terrorism—namely, the suppression of civil liberties and political rights, including freedom of the press, the freedom to assemble, and democratic rights. Using data from the Freedom House Index, for example, I found that countries with low levels of civil liberties are more likely to be the countries of origin of the perpetra­tors of terrorist attacks. In addition, terrorists tend to attack nearby targets. Even international terror­ism tends to be motivated by local concerns.

Additional support for these conclusions comes from research I conducted on the nationalities of foreign insurgents in Iraq. Specifically, I studied 311 combatants, representing 27 countries, who were captured in Iraq. Although the vast majority of insurgents are native Iraqis, motivated by domestic issues, foreigners are alleged to have been involved in several significant attacks. I looked at the char­acteristics of the countries insurgents came from, and, importantly, of the countries with no citizens captured in Iraq. It turned out that countries with a higher GDP per capita were actually more likely to have their citizens involved in the insurgency than were poorer countries.

Consistent with the work on international terrorist incidents, countries with fewer civil lib­erties and political rights were more likely to be the birthplaces of foreign insurgents. Distance also mattered, with most foreign insurgents com­ing from nearby nations. The model predicted that the largest number of insurgents—44 percent—would have emanated from Saudi Arabia, a nation not known for its protection of civil liberties but with a high GDP per capita.

The evidence suggests that terrorists care about influencing political outcomes. They are often motivated by geopolitical grievances. To under­stand who joins terrorist organizations, instead of asking who has a low salary and few opportunities, we should ask: Who holds strong political views and is confident enough to try to impose an extrem­ist vision by violent means? Most terrorists are not so desperately poor that they have nothing to live for. Instead, they are people who care so fervently about a cause that they are willing to die for it.

Alan Krueger is the Bendheim Professor of Economics and Public Policy at Princeton and has been an adviser to the National Counterterrorism Center. This article is adapted from his new book, “What Makes a Terrorist: Economics and the Roots of Terrorism,” which is based on the Lionel Robbins Memorial Lectures he gave at the London School of Economics in 2006. Copyright © 2007 by Princeton University Press. All rights reserved.

Sunday, November 11, 2007

Cepat, tepat & tanpa kekerasan!

Journalists attacked by riot police
Chua Sue-Ann (Malaysiakini.com 10 Nov 2007)

A number of journalists covering poll reform group Bersih rally today were kicked and beaten by riot police as they sought to disperse protesters at the Masjid Jamek area.

Chaos erupted at around 2.30pm as riot police fired a torrent of chemical-laced water and discharged a volley of tear gas canisters at more than 2,000 people.

In the melee, members of the press, both local and foreign, were not spared.

A female journalist, who declined to be named, said she was hit with a baton by a police officer who was trying to drive away the crowd.

“He hit... my buttocks and he was telling me ‘Go, go, go, like I’m some donkey’,” she decried.

Another journalist, who also requested anonymity, reported being kicked twice by the police - on his back and his thigh.

He ticked off the authorities for using “unnecessary force” against the journalists. “I’m surprised at the brutality of the police.”

The duo were among five journalists who were standing behind police lines before they were suddenly assaulted by about 10 police officers.

One of them, a female journalist from a local newspaper, was injured by the beatings.

A policeman kicked her neck as she lay on the ground, refusing to stop despite pleas from the other press members.

It is also claimed that Federal Reserve Unit officers attacked a Swedish journalist with their shields, while two others are said to have received injuries as a result of being targets of a tear gas canister and the water cannon.

>>> Journalists attacked by riot police
>>> Polis tidak guna kekerasan – Musa (Utusan Malaysia.com)
>>> Zainuddin tolak dakwaan al-Jazeera polis bertindak keras (Bernama.com)

Friday, November 09, 2007

Generasi Net

Umno diajak fahami, dekati 'Generasi Net'

KUALA LUMPUR: Umno disaran mengambil langkah proaktif dengan lembut dan mesra bagi mendekati generasi baru orang Melayu yang semakin berani mempertikaikan kerajaan dan mempersoal kaum mereka sendiri.

"Sebilangan dari generasi ini (golongan terpelajar kelas menengah) mempunyai daya fikir yang berbeza, cita-cita politik yang berbeza, pandangan terhadap nilai-nilai kemelayuan yang berbeza," kata Pertubuhan Alumni Kelab-kelab Umno Luar Negara dalam satu rumusan yang diedarkan kepada media hari ini.

Rumusan keempat 'Menghadapi Kebangkitan Generasi Baru' itu merupakan satu daripada lapan resolusi Seminar Agenda Melayu ke-3: Melayu 2057 anjuran pertubuhan itu pada Ahad lalu.

"Generasi Net" yang ditaktif oleh pertubuhan itu antaranya mempunyai ciri-ciri "berfikiran kritis, berani berpolemik tentang kedudukan bangsa, berpartisipasi dalam dunia demokrasi dengan bertanya ke mana haluan negara, mempersoalkan apakah yang telah dilakukan pemimpin dan sentiasa menilai sama ada Ahli Parlimen dan Ahli Dewan Undangan Negeri membuat kajian dan kerja rumah sebelum berbahas."

Menurut resolusi itu lagi, generasi baru yang aktif menyebar dan mendapat maklumat melalui alam siber seperti melalui kumpulan komuniti penulis blog, Youtube, Myspace dan Friendster memerlukan kebijaksanaan kepemimpinan Umno dan kematangan berpolitik parti itu.

Menyedari realiti baru tersebut, pertubuhan itu menggesa Umno mengambil langkah "mengadakan pertemuan berterusan (didik dengan mesra) agar mereka dapat diasah untuk menjadi pemimpin masa depan yang cemerlang".

Langkah itu juga diambil, kata pertubuhan itu lagi, agar Generasi Net "mengenal realiti politik dan kemudiannya ikut serta mempertahankan kredibiliti Umno" dan strategi ini akan menjadi "aset penting mengekalkan orang Melayu sebagai bangsa penentu pada 2057."

Di sidang media itu, timbalan pengerusi pertubuhan tersebut Datuk Mohamad Rais Zainuddin berkata pihaknya sedang merangka satu pelan sebagai panduan untuk bangsa Melayu bagi memastikan hak dan keistimewaan mereka di dalam negara ini terus terpelihara.

[ii]

Coretan di atas tadi berita yang saya sediakan untuk mStar Online. Apakah anda boleh bersetuju dengan analisa Pertubuhan Alumni Kelab-kelab Umno Luar Negara?

Jika bersetuju, apakah anda senang dengan pendekatan yang disarankan itu?

Saturday, November 03, 2007

Bahasa, wacana dan kuasa

[Asalnya terbit pada 25 September 2006]
Untuk dibahaskan kepada yang berminat, silakan ...


Diri seseorang, medan bahasa, wacana, struktur dan kuasa sebetulnya berada dalam satu jaringan yang kompleks. Semua kita dibesarkan dalam lingkungan yang membentuk diri kita (istilah 'habitus' di sisi Bourdieu). Lingkungan itu tidaklah 'satu' tetapi pelbagai 'medan' atau ruang sosial. Namun, medan dan diri kita ini dibentuk oleh permainan bahasa dan wacana.

Bahasa dan wacana sebagai pengetahuan, telah distruktur oleh kumpulan-kumpulan dominan. Misalnya, bahasa rasmi dan juga beberapa sistem negara yang kuat pengaruhnya ke atas individu – sekolah dan media. Dalam ungkapan Louis Althusser, alat-alat ideologi negara (ISA atau ideological state apparatuses).

Pengaruh kumpulan-kumpulan dominan ini terlalu kuat sehingga, jika anda membaca buku The Politics of Misinformation (2001) karya sarjana komunikasi politik Murray Edelman, anda cenderung 'kecewa' dan 'patah hati'!

Kumpulan-kumpulan dominan berjaya mencipta 'kesedaran palsu' (memakai pandangan Marxis) bukan hanya di kalangan kelompok elit tetapi juga massa, termasuk mereka yang cuba menentang keburukan sistem tersebut. Pandangan Edelman ini tidak jauh bezanya dengan Yuri M Lotman dalam 'Dialogue mechanism' (buku Universe of the Mind: A semiotic theory of culture, 1990).

Bagi Lotman, kepintaran memerlukan kepintaran yang lain untuk menghidupkannya. Ertinya, seseorang yang bodoh akan cenderung 'bodoh' jika tidak menumpang (atau membuka diri) kepada kecerdasan wacana tertentu dalam proses wacana.

Massa yang terpengaruh dengan sesuatu wacana dalam pasar idea ini, menurut Bourdieu, tidak menyedarinya. Malah mereka cuba untuk mempelajarinya sebagai modal dalam proses menyertai pasar tersebut. Misalnya, dengan memasuki sistem persekolahan dan universiti.

Seseorang yang tersingkir dari universiti, bukan sahaja gagal menguasai sejumlah bahasa (sebagai modal) tetapi tertinggal dalam persaingan (atau gagal bertutur menurut tuntutan sesuatu 'medan idea') untuk mobiliti sosial. Dengan modal itu, seseorang yang berjaya, boleh menukar modal simbolik (sijil pendidikan) itu kepada modal ekonomi (gaji, misalnya).

Dengan itu, kita menggunakan bahasa-bahasa dominan ini untuk menyampaikan fikiran kita – dengan tidak menyedari bahawa kita terbelit dengan politik wacana yang datang bersamanya. Memang begini, kerana bahasa sifatnya awam, dan jarang sekali percubaan mensubversifkan bahasa berjaya jika struktur kuasa yang sedang bermain dalam masyarakat gagal kita kuasai.

Bahasa, pada Bourdieu, sentiasa ada hubungan kuasa – dan salah, bagi dirinya, pandangan aliran strukturalisme seperti Noam Chomsky atau Ferdinand de Saussure yang cuba melihat bahasa pada isi kandungan (dalaman) bahasa semata-mata. Ahli sosiologi Perancis ini cuba merumuskan 'teori tengah' antara objektivisme (strukturalisme) dengan subjektivisme (aliran pasca-modenisme atau pasca-strukturalisme).

Dalam proses berbahasa itu, kita semua dipengaruhi dan mempengaruhi struktur pasar bahasa (atau, pasar wacana) tersebut. Kita lihat tafsir Bourdieu tentang bahasa: “Language is not only an instrument of communication or even of knowledge, but also an instrument of power. One seeks not only to be understood but also to be believed, obeyed, respected, distinguished. Whence the complete definition of competence as right to speak, that is, as right to the legitimate language, the authorized language, the language of authority. Competence implies the power to impose reception.”

Bahasa, bagi sarjana ini sejenis 'keganasan simbolik', bukan sahaja alat komunikasi tetapi juga alat kekuasaan oleh pemakainya dengan proses pembezaan (diskriminasi) dengan kelompok-kelompok lain seperti proses ‘rites of passage’ (misalnya berkhatan, dalam budaya Melayu) dalam banyak budaya.

Dalam bukunya Language and Symbolic Power, Bourdieu menunjukkan bagaimana bahasa berjaya mempengaruhi jasad seseorang sehingga mencipta semacam 'kegagapan' ke atas seseorang di luar medan bahasa (di luar kelas sosialnya). Medan dan pasar bahasa digunakan dengan maksud yang hampir sama dalam teori Bourdieu.

Akibat tekanan itu, individu melakukan banyak 'pembetulan' sewaktu menggunakan bahasa – misalnya memperbaiki sebutan, ungkapan, tatabahasa dan teori yang 'betul' dengan kehendak pasar (medan) sesuatu kelompok, selalunya dominan. Sungguh menakutkan memikirkan hal ini.
Saya sendiri pernah menjadi 'korban' kepada proses ini – setelah lama tidak menulis kepada akhbar Utusan Malaysia (1996) dan Berita Harian (1992-93). Sewaktu saya cuba menulis kembali kepada mereka, antaranya artikel 'Ruang awam untuk sasterawan' (Mingguan Malaysia, 8 Jun 2003), saya terpaksa mengedit hampir 10 kali (sejenis swasaringan atau self-censorship agar serasi dengan bahasa dan gaya akhbar tersebut!)

Barulah saya sedar bahawa bahasa saya telah beranjak daripada 'bahasa (dan pemikiran) arus perdana' akhbar harian (awal 1990 hingga pra-Gerakan Reformasi) kepada 'bahasa politik baru' (yang cukup bebas dan anjal – juga sarat 'emosi') era laman-laman web Reformasi (1998-2000). Bahasa laman web ini, kemudiannya, menjadi beban pula sehingga saya meninggalkan Malaysiakini (akhir 2001) dan mula menulis untuk kolum ini (pertengahan 2002).

Sewaktu bertugas dengan Malaysiakini (2000), saya pernah mengkritik bentuk-bentuk wacana dan kualiti hujah laman-laman web reformasi, Harakah dan Utusan Malaysia (khususnya 1998-2000) kerana memaparkan sejenis 'budaya dan bahasa politik' yang buruk dan tidak mencerahkan akal.

Gejala sedemikian, saya perhatikan, telah terlalu kuat mempengaruhi pengucapan politik kita hingga saat ini, misalnya lihat Tranungkite.net (milik satu kawasan PAS di Terengganu) dan juga wacana-wacana dalam blog-blog milik individu-individu yang percaya pada idealisme Islam.

Bahasa dominan ini rupa-rupanya menyimpan 'kejahatan', atau 'keganasan simbolik', tersendiri seperti saya alami dalam fasa-fasa tertentu, misalnya lebih 10 tahun dalam gerakan pelajar dakwah (mulai 1983). Bahasa di sini bukan ayat dan karangan tetapi 'wacana', pemikiran atau 'paradigma' kumpulan. Kumpulan-kumpulan sosial (atau 'medan' dalam teori Bourdieu) sentiasa melakukan kejahatan ini, rupa-rupanya!

Tidaklah menghairankan apabila forum dan diskusi kita, termasuk di kalangan aktivis, jarang mahu disertai peserta-pesertanya. Begitu juga surat pembaca untuk penerbitan berbahasa Melayu (yang pernah saya sertai). Rupa-rupanya ada proses 'menggagapkan' orang ramai akibat penggunaan wacana yang tidak demokratik yang sudah terlalu jauh berkembang dalam masyarakat kita.

Pandangan orang ramai dianggap tidak perlu dirujuk dan akibatnya masyarakat mematikan keghairahan bersuara. Jika ada, mereka terperangkap pula dalam bahasa politik kritis (seperti mereka kenali daripada akhbar pembangkang dan ceramah politik). Orang ramai terlalu daif untuk menentang 'bahasa buruk' yang sedia ada dalam budaya politik kita, manakala aktivis politik (termasuk cerdik pandainya) gagal memperkasakan kita semua ke arah memantapkan 'bahasa baru' politik antikerajaan.

Hishamuddin, sebelum ditahan ISA pada April 2001, sering bercakap kepada kami tentang keperluan 'mendemokratikkan wacana' kerana wacana, menurut Michel Foucault, datang bersama kuasa. Tokoh pasca-modenisme ini menyarankan kesetaraan wacana. Tidak hairan, selepas dibebaskan, Hishamuddin menulis menggunakan bahasa 'pop' anak muda – mungkin untuk mendemokrasikan wacana kepada sasaran baru pembacanya itu.

Dalam artikel dua tahun lalu, saya menyebut: “Pembodohan membentuk budaya bersama atau sejenis social conditioning; yakni, rasa tidak perlu berhujah, berbeza pandangan, mempertikaikan sesuatu maklumat yang disogokkan atau mencabar kelaziman serta ‘tradisi’.

“Ia mematikan keghairahan berfikir, serta menumpulkan minda, mula-mula secara kolektif, kemudian secara peribadi. Mula-mula di kalangan pengikut kelompok, kemudian kepada penentangnya dan akhir sekali di kalangan pengikut penentang itu sendiri. Pembangkang kemudiannya mewarisi pembodohan yang tidak disukai itu.”

Saya masih mempertahankan tesis di atas; cuma sekarang saya sedar bahawa pembodohan itu rupa-rupanya diakibatkan oleh dampak buruk bahasa dan wacana politik dan kebudayaan kita.

Tulis saya lagi: “Aktivis dan pemimpin pembangkang juga gagal melihat serta membedah sesuatu yang lebih abstrak daripada tindakan politik, kenyataan pemimpin kerajaan atau perundangan. Soal nilai, budaya atau ‘ikatan seni’ yang mengawal minda, gelagat, minat atau naluri bangsa ini gagal dibedah siasat.

“Jika ada, itu semua teori yang dilontar semula daripada buku-buku; bukan kefahaman mereka yang asli tentang negara ini. Saya tidak fikir mereka faham dan saya tidak nampak mereka sedar bahawa inilah kelemahan asasi mereka dalam perlawanan dengan Barisan Nasional dan institusi-institusinya. Bagi saya, ini semua akibat-akibat nyata ketumpulan minda.

“Malah, ada di kalangan mereka bersikap anti-ilmu; tidak tahu meletakkan hubungan antara ‘teori’, ‘kritik’, ‘konsep’, ‘kajian’, ‘idea’, ‘falsafah’ atau kegiatan ‘intelektual’ dengan gerak kerja perjuangan.

“Sering kita dengar, dengan nada jengkel atau sinis, “awak kritik saja, memang mudah”, “kita tidak perlu intelektual yang pandai berteori” atau “teori banyak-banyak pun tidak guna, yang penting pelaksanaan”. Sedarkah mereka nada seumpama ini lahir akibat pembodohan?”

Keadaan ini diburukkan lagi oleh kegagalan cerdik pandai kita untuk menyediakan wacana tanding antara bahasa-bahasa politik pembangkang (khasnya PAS) dengan kerajaan (khasnya Umno).

Oleh kerana sudah membudaya kerendahan wacana dan pendangkalan hujah dalam bahasa politik kita, maka setiap orang nampaknya ingin keadaan sedia ada ini dikekalkan. Sekiranya ada usaha untuk membuka 'bahasa baru' dalam wacana politik kita, pembuka 'bahasa baru' itu akan 'didesak' oleh khalayak kita agar menurunkan 'bahasa baru' itu dan sesuai dengan kelaziman minda mereka (selama ini).

Lotman, dalam bukunya itu (hal. 143), menyebut: “Dialogue presupposes asymmetry, and asymmetry is to be seen first, in the difference between the semiotic structures (languages) which the participants in the dialogue use; and second, in the alternating directions of the message-flow. [...] But there is another condition necessary for dialogue: namely the concern of both participants for the message and their capacity to overcome the semiotic barriers that must inevitably arises.”

Sedutan artikel saya 'Politik dan kejahatan berbahasa' (Malaysiakini.com, 8 Ogos 2005)