Mataharitimoer: Jihad Terlarang Adalah Pergulatan Pribadi Saya
Saya trauma dan sakit hati melihat elite pergerakan saya yang mengatasnamakan Islam demi kepentingan sendiri. Mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam, dan NII sudah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Mereka menganggap kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan lebih mengandalkan kekerasan ketimbang dialog.
Dianggap ”murtad” dari pergerakan Negara Islam Indonesia (NII), Mahataharitimoer justru menunaikan janji untuk menerbitkan sebuah novel otobiografis yang menggugah. Dalam Jihad Terlarang, Cerita dari Bawah Tanah (Kayla Pustaka, 2007), ia mengungkapkan pergulatan batinnya ketika masih menjadi aktivis pergerakan. Berikut wawancara Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal dengan Mataharitimoer tentang novelnya dan suasana inside NII, di Radio 68H Jakarta, 29 Agustus lalu.
Bung MT, judul novel Anda, Jihad Terlarang, cukup provokatif dan merangsang rasa ingin tahu. Apa sesungguhnya yang mendorong Anda menulis novel ini?
Selama kurang lebih sepuluh tahun saya aktif di sebuah pergerakan Islam garis keras. Tapi setelah itu saya berpikir, apakah pergerakan yang saya ikuti ini benar dasar-dasar perjuangannya? Kenapa mereka begitu mudah mengkafirkan orang—bahkan orangtua kita sekalipun—jika tidak bergabung ke dalam gerakan ini? Itu ditambah lagi banyaknya friksi di tubuh pergerakan yang saling sengketa.
Akhirnya, saya memilih keluar. Tapi keluarnya pun tidak mudah. Terjadi konflik batin yang berat dan panjang. Kalau keluar, berarti saya murtad, tidak lagi dianggap Islam. Belum lagi tekanan dari teman-teman yang bertahun-tahun jalan bersama saya. Mereka tahu ke mana saja saya ngumpet. Tapi pada akhirnya, sebuah kondisi memaksa saya harus pergi. Tapi ada hal penting yang ingin saya lakukan setelah keluar. Saya harus menceritakan semua ini kepada semua orang, agar mereka tidak terjebak seperti saya. Itulah sebabnya mengapa saya menulis novel Jihad Terlarang ini.
Spesifiknya, pergerakan apa yang Anda maksudkan?
Kebetulan yang saya ikuti adalah gerakan NII, Negara Islam Indonesia.
Kenapa dulu Anda tertarik mengikuti pergerakan NII?
Saya masuk pergerakan ini ketika saya mengikuti sebuah organisasi remaja masjid. Di situ saya mengikuti pengajian-pengajian yang rutin diadakan seminggu sekali. Pengajian itu memberikan wawasan baru pada saya yang kala itu masih SMA kelas satu. Pengajiannnya pun berbeda. Zaman dulu, kita tahu, yang namanya ngaji ya umumnya membaca Alquran saja. Tapi kok pengajian ini lain?! Di sana saya diajari sejarah Islam dan tafsir-tafsir Alquran; hal yang tidak saya dapatkan sebelumnya. Nah, saya merasa ada hal baru di sana. Saya merasakan sebuah dunia yang baru sama sekali.
Apakah itu sangat memukau bagi orang yang punya hasrat besar untuk belajar Islam seperti Anda?
Sangat memukau! Pada saat itu rekrutmen belum terjadi. Mereka (para perekrut anggota baru NII) masih dalam tahap melakukan pengkondisian pemikiran melalui materi-materi pengajian.
Proses perekrutan Anda sendiri bagaimana?
Ketika beberapa kali pengajian berlangsung, diam-diam para pencari bakat dari belakang memperhatikan anak-anak yang potensial untuk direkrut. Biasanya anak-anak yang berpikiran kritislah yang dibidik. Nah, saya termasuk anak yang mereka inginkan. Ketika sasaran sudah ditentukan, mereka melakukan pendekatan persuasif kepada saya. Sering saya dikerubung oleh tiga orang langsung untuk dipersuasi. Dari sana saya diarahkan untuk menjadi kader yang militan.
Anda dibidik karena dinilai cerdas dan kritis. Mengapa kecerdasan dan kritisisme dijadikan kriteria utama dalam melihat calon target?
Mereka memang mencari kader yang cerdas dan kritis; sosok-sosok yang ingin mengetahui sesuatu yang baru, yang selalu tidak puas dengan tatanan lama. Di samping itu, ia harus memiliki antusiasme perjuangan terhadap agamanya. Ia diharapkan bisa menjadi kader potensial ketika sudah tergabung dalam pergerakan.
Setelah direkrut, apakah anda lantas merekrut yang lain juga?
Ya, selalu begitu. Setiap orang yang telah bergabung selalu mempunyai target. Dalam satu bulan, target bisa mencapai puluhan orang. Semua kader diwajibkan untuk berdakwah fi sabilillah. Rekrutmen adalah dakwah mereka yang paling nyata.
Kalau Anda ingat-ingat lagi, apa rahasia masih terus eksisnya pergerakan ini sampai sekarang?
Sistem kerahasiaan organisasinya begitu kuat. Para kader tidak pernah mengetahui siapa pemimpin di atasnya. Pergerakan ini menggunakan sistem sel atau multilevel marketing. Saya sendiri tidak pernah tahu siapa pemimpin-pemimpin utama di atas saya. Yang saya kenal hanyalah nama-nama samaran. Fakta inilah yang membuat gerakan ini terus eksis sampai hari ini dan cukup aman. Terbukti aparat tidak pernah bisa menghabisinya.
Setiap organisasi yang militan biasanya punya ideologi untuk mengukuhkan militansi para anggotanya. Apa ideologi yang memompa semangat bertindak dalam organisasi Anda?
Ada sebuah kalimat yang selalu menjadi ruh bagi semua aktivis NII. Kalimat itu adalah lâ ilâha illalLâh (tiada tuhan selain Allah). Kalimat tauhid itulah yang memompa kita untuk senantiasa berjuang mewujudkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan kita. Jika kita tidak melakukannya, berarti kita belum berjihad. Semangat seperti itu didukung oleh buku-buku yang memang direkomendasikan para atasan. Salah satunya adalah buku yang berjudul Tauhid, karya Ismail Raji Al-Faruqi.
Lalu, apa misi tertinggi untuk mewujudkan keyakinan semacam itu?
Misinya adalah mendirikan negara Islam di Indonesia. Tanpa negara Islam, kita dianggap masih hidup dalam kekafiran. Sebab hukum yang dipakai di negara kita bukan berasal dari Alquran dan Sunnah Nabi. Dan ketika kita belum memiliki kekuatan untuk mewujudkannya, maka negara tersebut berwujud dalam bentuk sebuah gerakan ”negara” di dalam sebuah negara.
Jadi Anda dan teman-teman pernah merasa seperti berada dalam sebuah pulau terpencil, dengan ideologi tertentu, tapi masih dalam negara bernama Indonesia, ya?
Ya, benar. Dengan begitu kita langsung bisa menarik garis furqan (pembedaan) bahwa kita adalah warga negara Islam sedangkan orang lain bukan. Dan yang bukan warga negara Islam harus kita ajak untuk memasuki negara kita.
Bagaimana pergerakan Anda menilai orang yang sudah puas dengan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945?
Kita menggagap mereka belum mendapatkan hidayah. Dan dalam kepala para aktivis (NII) hanya ada dua jalan: Islam atau kafir. Tidak ada jalan tengah. Kalau bukan Islam, ya kafir. Mereka kita anggap masih hidup dalam zaman jahiliyah. Orang-orang yang kita anggap kafir itulah yang menjadi target dakwah agar memasuki negara Islam kita, dan keluar dari kekafiran.
Mengapa para kader NII begitu militan?
Pembinaan yang dilakukan pergerakan ini sangat intensif. Seminggu sekali pasti ada. Tujuannya untuk mengubah cara pandang kita tentang Islam dan negara. Dulu, militansi ditambah juga oleh sikap rezim Orde Baru yang sangat represif terhadap para aktivis Islam. Jilbab dilarang, pengajian-pengajian dikontrol, dai-dai kritis ditangkap. Suasana seperti itu justru mempertebal semangat kita untuk melakukan perlawanan dan menjadi aktivis yang militan. Perjuangan semakin menarik karena banyak tantangannya.
Apa momen-momen dramatis yang sering Anda alami?
Kita selalu berhadapan dengan intel. Hampir setiap mau melakukan aktivitas, ada saja rasa waswas: apa nanti saya tertangkap atau tidak? Pada saat itu banyak sekali penangkapan, penggerebekan, terutama terhadap orang-orang yang berkelompok untuk melakukan diskusi agama.
Apa hubungan Anda dengan NII KW-IX? Apakah anda kenal tokoh-tokoh seperti Panji Gumilang, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Sunkar, dan Ajengan Masduki?
Kami dulu kebetulan tidak berada dalam sistem KW (Komandemen Wilayah). Sistem KW itu sudah lama bangkrut. Jadi kami tidak menyebut satuan kami dengan istilah itu. Hanya orang-orang yang memang masih belum mendapat informasi yang up to date-lah yang masih mengunakan nama KW. Kelompok kami tidak tergabung dalam KW-IX. Kami mempunyai sistem sendiri yang berbeda dengan sistem KW. Cara-cara kami pun tidak sekeras seperti yang sering muncul di media-media.
Apa pendapat Anda terhadap perjuangan sejumlah kelompok Islam yang targetnya hampir mirip NII, tetapi metode perjuangannya lebih lunak, seperti partai, organisasi atau kelompok yang memperjuangkan syariat Islam di Indonesia?
Saya keluar dari NII dalam keadaan yang tidak fresh. Saya keluar dengan sebuah trauma yang mendalam. Hal itulah yang membuat saya skeptis terhadap gerakan Islam yang misinya serupa dengan NII, baik itu partai politik maupun ormas keagamaan. Saya ingin membebaskan diri dari organisasi apa pun yang semacam itu.
Trauma apa yang Anda rasakan?
Saya trauma dan sakit hati melihat elite pergerakan saya yang mengatasnamakan Islam demi kepentingan sendiri. Mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam, dan NII sudah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Mereka menganggap kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan lebih mengandalkan kekerasan ketimbang dialog.
Apakah anda tidak cemas terbitnya buku ini dicurigai sebagai propaganda intelijen?
Pada saat awal-awal penulisan Jihad Terlarang ini, saya sempat berpikir, jangan-jangan saya nanti dianggap sebagai kaki-tangan intel. Tapi sekarang saya berani menjamin, sampai detik ini saya belum pernah berhubungan dengan intel. Buku saya itu sekadar curahan hati saya, berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang pernah saya alami dulu. Jihad Terlarang adalah pergulatan pribadi saya. Tidak melibatkan pihak mana pun.
(Sumber asal: Jaringan Islam Liberal 2 Oktober 2007)
Tuesday, November 13, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment