Sunday, November 25, 2007

Turun ke jalan

Oleh GOENAWAN MOHAMAD

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak. Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai.

Jalan raya adalah sejarah politik.

Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.

Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu rampung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak.

Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai.

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.

Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat, ”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah politik.”

>>>> Teks lengkap dan lebih asyik di blog Caping (Catatan Pinggir)

3 comments:

Anonymous said...

Sebelum Goenawan dan jalan raya, diskusi tentang Pram Sabtu malam lepas ada getaran juga. Seingat gue sudah lama (bertahun juga) gue tidak cukup kuat untuk bertahan memasang telinga dan mata dalam mana-mana diskusi atau forum (seminar lagi la), tapi malam minggu lepas boleh.
Bukan bermaksud semua isi diskusi semuanya mencabar (ini tentu saja mustahil kan), yang menarik dua panelis, moderator, komentar dan soalan daripada mereka yang hadir menunjukkan keghairahan mereka pada Pram adalah tulen, bukannya dibuat-buat atau sekadar basa-basi, atau hendak menonjol siapa yang jaguh. Ini berbeza dengan forum Negarakuku beberapa bulan lepas (ada di youtube) di mana ada panelis seolah-olah lebih kepada mahu menonjol untuk memikat pendengar. Besar kemungkinan modal kritikalnya tidak jauh mana ditambah pula dengan lorong pemikiran sehala. Jadi yang tinggalnya dengung-dengung suara, mengulang-ngulang istilah, tangan-tangan bersilat, memek muka lebih-lebih, senyum-senyum tidak natural dan membuat kelakar yang tidaklah sekelakar mana (yang betul kelakar ada, gue akui) dan hal-hal lain lain yang sewaktu/setara dengannya. Kalau macam ini gue tidak tahan, desakan untuk keluar akan spontan timbul atau kalau kecukupan duit langsung saja (pinjam dua patah Indon) pergi berdegung yang nikmat.

Gue ada baca Goenawan. Gue juga pernah berpolemik sepintas tentangnya. Ada di sini kalau sudi merayau-rayau: http://sesungutpatah.blogspot.com/2007/03/tuhan-tidak-beragama-kata-gandhi.html
(penama Pikey dan che nik ialah gue).

Belum terangsang hendak berdiskusi pasal artikel jalan raya Goenawan ini, dalam diri masih bermain-main dengan Pram. Tengok Fathi, walaupun jasadnya sudah tiada, spiritnya masih hidup kan. Gue masih boleh berdialog dengannya Fathi. Dan jikalau suatu masa beliau pernah menangis, gue boleh menangis bersamanya Fathi walaupun di lorong waktu yang tidak sama.

Anonymous said...

Che Nik..
Sedang sibuk Bahasa Malaysia diperdebatkan yang dikatakannya MANDUL, tulisan Che Nik berpinar mata gue membacanya. Apakah Che Nik ketika dan di kala ini sedang berada di Republik of Indonesia? hehehe....

Anonymous said...

Fizikal masih di sini di sempadan Malaysia (peta yang diwujudkan oleh tangan penjajah). Tapi sudah lama gue bakar peta itu dalam kepala. Jadi fizikal gue hari ini sebagai seorang manusia yang tidak pernah lupa akar keturunannya, yang tidak sesekali pernah lupa warisan moyang-moyangnya yang kaya, sedang berpijak di atas tanah Gugusan Kepulauan Melayu. Alamnya dikenali Nusantara - bukan Eropah, bukan Arab, bukan China, bukan India.
Fizikal gue di sini (Kepulauan Melayu), fikiran pula boleh terbang ke mana-mana...