Ada daya tarikan yang memuaskan khayalan, intelek dan nafsu (juga rohani) dalam karya ini, Life is Elsewhere -- tentunya buah tangan Milan Kundera.
Untuk bacaan penutup tahun, selepas Czeslaw Milosz The Captive Mind, dua karya kreatif ini ada beberapa tema atau insiden yang saling bertautan, dan selalunya pula fundamental, antara satu sama lain.
Antaranya, persoalan kekangan kreativiti yang dipaksakan negara melalui ideologi seni "realisme sosialis" -- mengingatkan saya debat (dan tekanan) yang ditimpakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) terhadap Manifes Kebudayaan (Manifes) di Indonesia pada 1963-64.
Lekra, yang didukung parti komunis republik itu PKI, pendukung utama ideologi seni tersebut. Saya pernah mengupas hal ini dalam Mingguan Malaysia (8 Jun 2003) 'Ruang awam untuk sasterawan' dan juga buku Patah Balek: Catatan terpenting reformasi (2005), 'Seniman, sasterawan hilang arah' (hal. 120).
Saya terganggu, pedih dan sedih, mengenangkan bagaimana penulis kreatif, seniman, wartawan dan intelektual terpaksa tunduk dan terkorban dalam memenuhi kejahatan politik negara (dalam kes Milosz, di Poland).
Sesiapa yang masih ada kesedaran nurani akan berpura-pura dan selebihnya memamah ideologi seni ini sebagai alat untuk mendaki tangga-tangga keselesaan hidup dan merelakan diri mereka alat kejahatan negara yang menindas teman-teman mereka sendiri.
Apakah mereka ini seumpama beberapa "ekor" orang seni kita (termasuk yang sudah tua-tua) yang rela diperkudakan negara untuk menguasai badan-badan seni kita, termasuk mencincang skrip teater (apabila menduduki jawatankuasa menapis skrip DBKL)?
Gaya Kundera (foto kiri) lebih berbentuk sasterawi berbanding Milosz yang menulis stail analisa berita walau kedua-duanya hasil kerja cereka (yang ini menghairankan saya -- bagaimana The Captive Mind dikelaskan sebagai fiction/literature, bukan non-fiction?)
Paul Theroux, pada Julai 1974, menulis empat tahun selepas Kundera memaparkan konflik dan jiwa Jaromil dan ibunya Maman (dua watak utama) dalam novel yang mengasyikkan ini:
A writer who keeps his sanity long enough to ridicule his oppressors, who has enough hope left to make this ridicule into satire, must be congratulated. And Kundera's humor is impossible elsewhere.
One can't imagine his particular situations growing out of anything but a combined anger and fascination with the cut-price Stalinists who have the whip- hand in Prague, "that city," he says, "of defenestration. . . ."
Dalam novel ini, banyak ungkapan dan cebisan cerita yang wajar dikutip dan dikongsikan, khususnya bait-bait puisi, tetapi di sini saya terpikat dengan tema "kebebasan" (halaman 46 -- namun, perlu ditegaskan, tema kebebasan ini juga sangat sebati dengan puisi, penjara puisi dan paradoks-sekatan terhadap pemuisi):
"I don't want anything from you except your freedom. I want you to give me your own complete free-ness as a gift!"
(kata pelukis lelaki itu kepada Maman sewaktu gelora godaan merembes ke dada masing-masing)
"The worst thing is not that the world is unfree, but that people have unlearned their liberty"
(katanya, merayu lagi... sewaktu keinginan Maman semakin sukar menepis bisikan itu).
Tetapi ibu Jaromil, anak muda yang ingin menjadi penyair besar, sewaktu suaminya tidak memuaskan hasrat batinnya kerana lebih setia pada kekasih baru, seorang gadis Yahudi (tentu tanpa pengetahuan Maman atau anak mereka) sukar sekali menghayati kebebasan itu.
The harder she tried to learn how to be free, the more difficult a task her freedom became. It turned into a duty, into something for which she had to prepare at home (....), such that she began to groan under the imperative of freedom as if under a heavy burden.
Sewaktu membaca babak-babak asmara ini, kadang-kadang ingatan saya menerawang mengenangkan Rahmat, Hisyam dan Munirah (juga gadis-gadis desa Kampung Batu Ragi) dalam Saga, ciptaan A Talib M Hassan, novel (pemenang anugerah sastera Gapena 1976) yang mengganggu fikiran ini sewaktu usia saya sebaya Jaromil.
Tetapi jangan cepat membuat kesimpulan, Life is Elsewhere bukanlah novel cinta atau seks. Sekali lagi meminjam Theroux, novel ini tentang politik, ia mengenai "... revolves on a single political proposition: that in a society with strict rules a poet risks betraying his lyricism."
Pada muka surat 121, tercatat:
Freedom does not begin when parents are rejected or buried; freedom dies when parents are born.
He is free who is unaware of his origin.
He is free who is born of an egg dropped in the woods.
He is free who spat out from the sky and touches the earth without a pang of gratitude.
Keseluruhan novel ini berpaksi pada isu kawalan (bayangan imej ibu yang mengikat leher si anak, paradoks jiwa Jaromil dan sistem politik kekangan) dan pertarungan watak-watak ini untuk bebas daripada kawalan-kawalan itu. Walau ada waktunya penyair remaja ini menyimpan pertentangan dalam dirinya sendiri tanpa dia sedari.
Misalnya dia inginkan sajak-sajak lirik (lyrical poetry) karangannya diterbitkan tetapi karya seni seumpama itu tidak akan (atau sukar sama sekali) diterbitkan dalam era politik komunisme (yang berpegang pada "realisme sosialis" atau karya seni yang menjilat kepentingan ideologi anti-kelas semata-mata) di Chechoslovakia.
Jaromil, sewaktu beriya-iya mahu menerbitkan sajak-sajak liriknya, mendukung (dan suka pada) Revolusi Komunisme. Dia malah dengan angkuhnya melaporkan kepada polis bahawa abang, yang ingin melarikan diri ke luar negara, kepada kekasihnya sendiri! Dan, berasa bangga dengan itu (hal. 260-62)!!
Akibatnya dia kehilangan kekasih hati sendiri, yang dibawa polis kerana dianggap bersekongkol (hal. 264): the majesty of duty [yakni: melaporkan kepada polis sebagai "seorang warga negara yang baik"] grows out of the bloody, split head of love!
Kundera mengingatkan kepada pembaca, kepada kita semua: Hati-hati bukan Jaromil seorang yang boleh berkelakuan begini. But his [Jaromil's] monstrosity is potentially contained in us all. It is in me. It is in you. (hal. 310)
Sajak-sajak lirik yang menguasi jiwa si penyair Jaromil, dalam novel Kundera ini, dijadikan pentas kritik pengarang bagaimana politik mengawal kespontanan jiwa dan pemikiran anak muda. Sajak lirik dianggap simbol keremajaan atau kemudaan.
Kundera menjelaskan tujuan dan latar penulisan novel di bahagian 'pasca-tulis' (atau, post-script) di halaman 309-11 edisi Faber and Faber (1990). Saya kutip agak panjang satu perenggan yang pernah menggoncang fikiran Kundera, tidak jauh gegaran moral pada Milosz:
I heard my admired French poet Paul Eluard publicly and ceremonially renounce his Prague friend whom Stalinist justice was sending to the gallows.
This episode (I wrote about it in The Book of Laughter and Forgetting) hit me like a trauma: when an executioner kills, that is after all normal; but when a poet (and a great poet) sings in accompaniment, the whole system of values we considered sacrosanct has suddenly been shaken apart.
Nothing is certain any longer. Everything turns problematic, questionable, subject of analysis and doubt: Progress and Revolution. Youth. Motherhood. Even Man. And also Poetry.
I saw before me a world of shaken values and gradually, over many years, the figure of Jaromil, his mother and his loves took shape in my mind. (hal. 310)
Untuk lebih perinci pemikiran dan gaya Kundera, lihat 'The Back Half: Unbearable stardom' (New Statesman, 23 Oktober 2003)
Tentang kawalan ibu yang konservatif, seumpama Maman dan anaknya Jaromil, saya teringatkan novel (dan kemudian difilemkan) karya Elfriede Jelinek, pemenang Hadiah Nobel sastera 2004, The Piano Teacher -- sebuah karya (saya tonton filem sebetulnya, belum membaca novel) yang cukup menekan dan mengganggu!
Edisi Indonesia karya ini sedang diusahakan (setakat September 2005 -- sewaktu saya di Jakarta), antaranya, oleh Ayu Utami daripada teks-teks Jerman dan Inggeris.
(kemas kini terakhir, 27 Dec 2005)
Sunday, December 25, 2005
Thursday, December 22, 2005
Pasungan
Buku Czeslaw Milosz, pemenang Hadiah Nobel sastera 1980, The Captive Mind (edisi asal 1953), benar-benar menggoncang fikiran saya.
Ia menunjukkan bagaimana jahatnya politik dan budaya dan orang-orang terpelajar (intelektual, inteligensia dan aktivis politik) terkorban bersamanya.
Ia memasung minda...
Yang tidak sanggup menukar jiwa dan kesedaran mereka, terpaksa berpura-pura, mengamalkan ketman atau takiyyah (di kalangan pengikut Syiah). Gejala berpura-pura ini digambarkan begini oleh Milosz (halaman 55):
Of course, all human behavior contains a significant amount of acting. A man reacts to his environment and is molded by it even in his gestures. Nevertheless, what we find in the people's democracies is a conscious mass play rather than automatic imitation.
[Nota: Ungkapan people's democracies merujuk jenis pentadbiran komunis, bukan demokrasi yang lazim kita fahami, di negara-negara yang dikuasai Russia; Milosz berasal dan menceritakan pengalamannya di Poland selepas negara itu dikuasai Tentera Merah. Kata Party slogans, di perenggan ketiga kutipan di bawah, merujuk propaganda parti komunis yang berpusat di Moscow]
Conscious acting, if one practices it long enough, develops those traits which one uses most in one's role, just as a man who became a runner because he had good legs develops his legs even more in training.
After long acquaintance with his role, a man grows into it so closely that he can no longer differentiate his true self from the self he simulates, so that even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans.
Cerita Milosz ini sudah dahsyat dan mendalam -- namun, membaca George Orwell, Nineteen Eighty Four (edisi asal 1949), jauh lebih mengasyikkan dan juga mengerikan.
Rupa-rupanya ada beberapa laman web yang mendedikasikan untuk karya Orwell ini, selain pautan (link) di atas: Wikipedia, edisi pengenalan oleh Gwyneth Roberts, ringkasan dan tafsiran, George-Orwell.org, Newcastle.edu.au dan banyak lagi dalam talian.
Yang paling menyayat hati dalam karya Orwell, apabila Julia dan kekasihnya Winston Smith terpaksa mengkhianati antara satu sama lain -- membocorkan kegiatan masing-masing yang dianggap "menentang kerajaan" -- selepas kedua-duanya ditangkap "berkhalwat" (di negara 1984 ini, digelar negara "Airstrip One", mengadakan hubungan kelamin secara haram dianggap satu kesalahan).
Orwell juga menggambarkan kawalan minda (atau, thought control), sama seperti kata Milosz dalam kutipan di atas "even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans". Negara jahat ini mencipta kaedah berbahasa sendiri, yang disebut pengarang Animal Farm ini sebagai newspeak.
Beberapa tahun selepas novel ini diterbitkan, Orwell pernah menulis esei tentang dampak bahasa dalam pemikiran manusia dan bagaimana kediktatoran mencipta bahasa dan mengawal masyarakatnya, Politics and English Language (1946).
Di permulaan artikel saya 'Puisi dalam trauma bahasa' (Malaysiakini.com, 7 Mac 2005; kemudian diterbitkan kembali dalam Ummahonline.com), saya ada mengutip pesanan Orwell:
“When the general atmosphere is bad, language must suffer. I should expect to find … that the German, Russian and Italian languages have all deteriorated in the last ten or fifteen years, as a result of dictatorship.
But if thought corrupts language, language can also corrupt thought. A bad usage can spread by tradition and imitation, even among people who should and do know better.”
Ia menunjukkan bagaimana jahatnya politik dan budaya dan orang-orang terpelajar (intelektual, inteligensia dan aktivis politik) terkorban bersamanya.
Ia memasung minda...
Yang tidak sanggup menukar jiwa dan kesedaran mereka, terpaksa berpura-pura, mengamalkan ketman atau takiyyah (di kalangan pengikut Syiah). Gejala berpura-pura ini digambarkan begini oleh Milosz (halaman 55):
Of course, all human behavior contains a significant amount of acting. A man reacts to his environment and is molded by it even in his gestures. Nevertheless, what we find in the people's democracies is a conscious mass play rather than automatic imitation.
[Nota: Ungkapan people's democracies merujuk jenis pentadbiran komunis, bukan demokrasi yang lazim kita fahami, di negara-negara yang dikuasai Russia; Milosz berasal dan menceritakan pengalamannya di Poland selepas negara itu dikuasai Tentera Merah. Kata Party slogans, di perenggan ketiga kutipan di bawah, merujuk propaganda parti komunis yang berpusat di Moscow]
Conscious acting, if one practices it long enough, develops those traits which one uses most in one's role, just as a man who became a runner because he had good legs develops his legs even more in training.
After long acquaintance with his role, a man grows into it so closely that he can no longer differentiate his true self from the self he simulates, so that even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans.
Cerita Milosz ini sudah dahsyat dan mendalam -- namun, membaca George Orwell, Nineteen Eighty Four (edisi asal 1949), jauh lebih mengasyikkan dan juga mengerikan.
Rupa-rupanya ada beberapa laman web yang mendedikasikan untuk karya Orwell ini, selain pautan (link) di atas: Wikipedia, edisi pengenalan oleh Gwyneth Roberts, ringkasan dan tafsiran, George-Orwell.org, Newcastle.edu.au dan banyak lagi dalam talian.
Yang paling menyayat hati dalam karya Orwell, apabila Julia dan kekasihnya Winston Smith terpaksa mengkhianati antara satu sama lain -- membocorkan kegiatan masing-masing yang dianggap "menentang kerajaan" -- selepas kedua-duanya ditangkap "berkhalwat" (di negara 1984 ini, digelar negara "Airstrip One", mengadakan hubungan kelamin secara haram dianggap satu kesalahan).
Orwell juga menggambarkan kawalan minda (atau, thought control), sama seperti kata Milosz dalam kutipan di atas "even the most intimate of individuals speak to each other in Party slogans". Negara jahat ini mencipta kaedah berbahasa sendiri, yang disebut pengarang Animal Farm ini sebagai newspeak.
Beberapa tahun selepas novel ini diterbitkan, Orwell pernah menulis esei tentang dampak bahasa dalam pemikiran manusia dan bagaimana kediktatoran mencipta bahasa dan mengawal masyarakatnya, Politics and English Language (1946).
Di permulaan artikel saya 'Puisi dalam trauma bahasa' (Malaysiakini.com, 7 Mac 2005; kemudian diterbitkan kembali dalam Ummahonline.com), saya ada mengutip pesanan Orwell:
“When the general atmosphere is bad, language must suffer. I should expect to find … that the German, Russian and Italian languages have all deteriorated in the last ten or fifteen years, as a result of dictatorship.
But if thought corrupts language, language can also corrupt thought. A bad usage can spread by tradition and imitation, even among people who should and do know better.”
Monday, December 19, 2005
Rosli
(dedikasi buat Rosli yang pernah mengharukan hati; yang tidak pernah menjadikan matanya sebagai halangan membaca)
As soon as a fact is narrated no longer with a view to acting directly on reality but intransitively, that is to say, finally outside of any function other than that of the very practice of the symbol itself, this disconnection occurs, the voice loses its origin, the author enters into his own death, writing begins – Roland Barthes dalam ‘The death of author’ (1977)
Jika kita ada menyimpan sekeping (atau beberapa keping) foto bogel sewaktu zaman kita nakal-nakal dulu, atau ada insiden-insiden lama yang mengaibkan diingatkan kepada kita saat ini, apakah perasaan kita?
Tentulah malu...
Saya berdepan dengan idea-idea saya yang tersebar dalam bermacam-macam media: akhbar-akhbar harian utama, yang ada waktunya bersifat polemik atau kecaman keras, dan juga risalah-risalah tertutup untuk teman-teman diskusi sejak di bangku sekolah.
Setidak-tidaknya ia bermula sejak 1985, sewaktu kami menerbitkan risalah al-Ikhwan dan majalah tahunan al-Hijrah di Sekolah Menengah Sains Sultan Mahmud, Kuala Terengganu. Kemudian saya menulis kepada Harakah dan majalah Muslimah pada 1988, selepas (dan sebelum) bergelumang di sebuah kampus di Shah Alam (dan Arau).
Ada waktu-waktunya saya gembira, ada rasa puas, kerana pernah terfikir dan menulis begitu. Tetapi banyak waktunya saya tidak gembira; ia menimbulkan resah, rasa malu dan 'aib, pandangan-pandangan lama itu. Saya sekarang (2005) bukan sepenuhnya saya dulu (1985-2004).
Semua orang berubah, dan saya seorang daripada semua orang itu. Tetapi tulisan saya seolah-olah masih kekal abadi dan mungkin masih terus dibaca, disebut dan dirujuk orang (khususnya anak-anak muda). Walau mungkin, jika saya ditemui saat ini, saya akan mengemukakan pandangan lain (kalau tidak sepenuhnya 'baru').
Saya sentiasa sedar hal ini dan sentiasa bergolak memikirkan tentang idea-idea lalu. Seperti hantu masa silam mengganggu seseorang, artikel-artikel saya sering muncul dengan wajah hodoh dan mengerikan, mengejek dan menghina, dalam mimpi dan sedar saya.
Tetapi tidak pernah ada gugatan yang kuat ke jantung kesedaran saya sehinggalah muncul seorang anak muda bernama Rosli, dari Brickfields, Kuala Lumpur. Anak muda ini, asal Kelantan tetapi mendapat didikan di ibu kota, benar-benar menggugah makna tanggungjawab dan moral saya sebagai seorang penulis. Dia benar-benar menyentuh dasar kesedaran saya selama ini.
Suatu hari, penghujung 2003 atau awal 2004, selepas diminta oleh saya sendiri Rosli membawa dua keping artikel saya yang telah difotokopi.
Satu, daripada majalah Tamadun (1997 atau 1998), tentang penggunaan teori sistem, systems theory, dalam memahami dinamika negara untuk perubahan Islam. Ia ditujukan kepada aktivis dan pemikir gerakan Islam - walau saya tidak pasti sama ada mereka mengambil perhatian tentang itu atau tidak.
Kedua, keratan rencana saya yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia (1996), tentang hubungan nilai dan budaya masyarakat dengan kemajuan ekonomi. Isu ini memang sering menjadi obsesi saya yang lama, setua keghairahan saya cuba memahami epistemologi dan filsafat bahasa.
(Untuk satu analisa terkini, baca makalah Politics, institutional structures, and the rise of economics: A comparative study karya Marion Fourcade-Gourinchas.)
Sewaktu saya di Jakarta sepanjang tahun ini, saya terpikat dengan idea memajukan demokrasi dari bawah, daripada 'masyarakat sivil', daripada nilai dan budaya masyarakat, daripada modal masyarakat (social capital), begitu istilah ilmiahnya.
Tidak salah ingatan saya, sewaktu menyediakan artikel di akhbar harian tersebut, buku Lester Thurow, Head to Head: The coming of economic battle among Japan, Europe and America, yang menjadi rujukan saya, selain sebuah buku berjudul Human Capital (hingga sekarang saya lupa nama pengarangnya -- kerana dipinjam kawan tetapi bukunya tidak dipulangkan). Namun buku tentang modal manusia ini pernah pula dijadikan asas untuk menulis sebuah rencana 'Memasuki era ekonomi pengetahuan' di akhbar Berita Harian (20 September 1993), tentang perubahan teori pengurusan apabila muncul gejala ekonomi berasaskan pengetahuan (k-economy).
Saya tidak menduga sama sekali Rosli masih menyimpan kedua-dua artikel tersebut. Pada dugaan saya, tidak ada pembaca yang setekun itu -- menyimpan keratan rencana-rencana yang tidak seberapa (mutu) itu untuk diarkibkan.
Saya selalu membuat andaian bahawa artikel-artikel saya tidak diberikan perhatian atau bakal berlalu begitu sahaja. Kebanyakan idea saya selalunya bersifat seimbas lalu, bukan satu kajian atau pemikiran yang mendalam. Semuanya suatu 'permulaan' untuk tinjauan lanjut di masa-masa depan (yang entah bila akan muncul lagi).
Tetapi Rosli ini mencabar tanggapan umum saya. Maksud saya, tanggapan tentang harga dan nilai idea saya di mata pembaca. Juga, soal moral dan tanggungjawab sebagai penulis.
Rosli, beberapa tahun lebih muda daripada saya, seorang yang buta, sebetulnya. Dia hanya boleh memandang dengan sebelah mata. Untuk membaca, dia harus mendekatkan teks kira-kira satu inci (2 atau 3 cm) ke mata kirinya itu.
Tetapi Rosli bukan sembarangan pembaca; dia berpengetahuan luas dan minat yang mencakupi banyak topik -- agama, politik dan falsafah antara isu-isu utamanya. Dia sentiasa minat menghadiri diskusi, forum atau seminar. Buku-buku serius juga menjadi subjek pembacaannya.
Kita mungkin tidak menemui 'Rosli' di kalangan mahasiswa atau graduan kita hari ini kerana anak muda ini tidak pernah ke kampus. Tetapi kepintaran dan keseriusannya boleh menyebabkan kita semua malu.
Dan, sayalah seorang yang sangat dimalukan dengan ketekunannya itu :(
As soon as a fact is narrated no longer with a view to acting directly on reality but intransitively, that is to say, finally outside of any function other than that of the very practice of the symbol itself, this disconnection occurs, the voice loses its origin, the author enters into his own death, writing begins – Roland Barthes dalam ‘The death of author’ (1977)
Jika kita ada menyimpan sekeping (atau beberapa keping) foto bogel sewaktu zaman kita nakal-nakal dulu, atau ada insiden-insiden lama yang mengaibkan diingatkan kepada kita saat ini, apakah perasaan kita?
Tentulah malu...
Saya berdepan dengan idea-idea saya yang tersebar dalam bermacam-macam media: akhbar-akhbar harian utama, yang ada waktunya bersifat polemik atau kecaman keras, dan juga risalah-risalah tertutup untuk teman-teman diskusi sejak di bangku sekolah.
Setidak-tidaknya ia bermula sejak 1985, sewaktu kami menerbitkan risalah al-Ikhwan dan majalah tahunan al-Hijrah di Sekolah Menengah Sains Sultan Mahmud, Kuala Terengganu. Kemudian saya menulis kepada Harakah dan majalah Muslimah pada 1988, selepas (dan sebelum) bergelumang di sebuah kampus di Shah Alam (dan Arau).
Ada waktu-waktunya saya gembira, ada rasa puas, kerana pernah terfikir dan menulis begitu. Tetapi banyak waktunya saya tidak gembira; ia menimbulkan resah, rasa malu dan 'aib, pandangan-pandangan lama itu. Saya sekarang (2005) bukan sepenuhnya saya dulu (1985-2004).
Semua orang berubah, dan saya seorang daripada semua orang itu. Tetapi tulisan saya seolah-olah masih kekal abadi dan mungkin masih terus dibaca, disebut dan dirujuk orang (khususnya anak-anak muda). Walau mungkin, jika saya ditemui saat ini, saya akan mengemukakan pandangan lain (kalau tidak sepenuhnya 'baru').
Saya sentiasa sedar hal ini dan sentiasa bergolak memikirkan tentang idea-idea lalu. Seperti hantu masa silam mengganggu seseorang, artikel-artikel saya sering muncul dengan wajah hodoh dan mengerikan, mengejek dan menghina, dalam mimpi dan sedar saya.
Tetapi tidak pernah ada gugatan yang kuat ke jantung kesedaran saya sehinggalah muncul seorang anak muda bernama Rosli, dari Brickfields, Kuala Lumpur. Anak muda ini, asal Kelantan tetapi mendapat didikan di ibu kota, benar-benar menggugah makna tanggungjawab dan moral saya sebagai seorang penulis. Dia benar-benar menyentuh dasar kesedaran saya selama ini.
Suatu hari, penghujung 2003 atau awal 2004, selepas diminta oleh saya sendiri Rosli membawa dua keping artikel saya yang telah difotokopi.
Satu, daripada majalah Tamadun (1997 atau 1998), tentang penggunaan teori sistem, systems theory, dalam memahami dinamika negara untuk perubahan Islam. Ia ditujukan kepada aktivis dan pemikir gerakan Islam - walau saya tidak pasti sama ada mereka mengambil perhatian tentang itu atau tidak.
Kedua, keratan rencana saya yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia (1996), tentang hubungan nilai dan budaya masyarakat dengan kemajuan ekonomi. Isu ini memang sering menjadi obsesi saya yang lama, setua keghairahan saya cuba memahami epistemologi dan filsafat bahasa.
(Untuk satu analisa terkini, baca makalah Politics, institutional structures, and the rise of economics: A comparative study karya Marion Fourcade-Gourinchas.)
Sewaktu saya di Jakarta sepanjang tahun ini, saya terpikat dengan idea memajukan demokrasi dari bawah, daripada 'masyarakat sivil', daripada nilai dan budaya masyarakat, daripada modal masyarakat (social capital), begitu istilah ilmiahnya.
Tidak salah ingatan saya, sewaktu menyediakan artikel di akhbar harian tersebut, buku Lester Thurow, Head to Head: The coming of economic battle among Japan, Europe and America, yang menjadi rujukan saya, selain sebuah buku berjudul Human Capital (hingga sekarang saya lupa nama pengarangnya -- kerana dipinjam kawan tetapi bukunya tidak dipulangkan). Namun buku tentang modal manusia ini pernah pula dijadikan asas untuk menulis sebuah rencana 'Memasuki era ekonomi pengetahuan' di akhbar Berita Harian (20 September 1993), tentang perubahan teori pengurusan apabila muncul gejala ekonomi berasaskan pengetahuan (k-economy).
Saya tidak menduga sama sekali Rosli masih menyimpan kedua-dua artikel tersebut. Pada dugaan saya, tidak ada pembaca yang setekun itu -- menyimpan keratan rencana-rencana yang tidak seberapa (mutu) itu untuk diarkibkan.
Saya selalu membuat andaian bahawa artikel-artikel saya tidak diberikan perhatian atau bakal berlalu begitu sahaja. Kebanyakan idea saya selalunya bersifat seimbas lalu, bukan satu kajian atau pemikiran yang mendalam. Semuanya suatu 'permulaan' untuk tinjauan lanjut di masa-masa depan (yang entah bila akan muncul lagi).
Tetapi Rosli ini mencabar tanggapan umum saya. Maksud saya, tanggapan tentang harga dan nilai idea saya di mata pembaca. Juga, soal moral dan tanggungjawab sebagai penulis.
Rosli, beberapa tahun lebih muda daripada saya, seorang yang buta, sebetulnya. Dia hanya boleh memandang dengan sebelah mata. Untuk membaca, dia harus mendekatkan teks kira-kira satu inci (2 atau 3 cm) ke mata kirinya itu.
Tetapi Rosli bukan sembarangan pembaca; dia berpengetahuan luas dan minat yang mencakupi banyak topik -- agama, politik dan falsafah antara isu-isu utamanya. Dia sentiasa minat menghadiri diskusi, forum atau seminar. Buku-buku serius juga menjadi subjek pembacaannya.
Kita mungkin tidak menemui 'Rosli' di kalangan mahasiswa atau graduan kita hari ini kerana anak muda ini tidak pernah ke kampus. Tetapi kepintaran dan keseriusannya boleh menyebabkan kita semua malu.
Dan, sayalah seorang yang sangat dimalukan dengan ketekunannya itu :(
Friday, December 16, 2005
Belum mati
Teks, akhirnya, bernafas dan berdiri sendiri. Ia merenung tepat ke muka pengarang teks -- pencipta jasad, ruh dan tenaganya. Ada waktunya teks tersenyum, tidak kurang dengan sinis. Ada pula dengan wajah celaka, memalukan.
Teks terpenggal dari pengarangnya -- bukan kerana teks lebih abadi daripada pengarangnya tetapi mungkin manusia lebih tidak setia pada kelamaan dirinya sendiri. Dalam bahasa filsafat, pengarang diisytiharkan "telah mati".
Saya pernah menulis dua siri rencana pendek tentang dara, kemungkinannya pada penghujung 1995 atau 1996. Pada waktu itu saya menulis sebuah manuskrip novelet, Sekuntum Duri (yang tidak siap, yang telah hilang daripada simpanan saya tetapi beberapa naskhah diedarkan kepada tiga atau empat kawan).
Rencana tersebut diterbitkan dalam majalah Muslimah (sekarang tidak lagi beroperasi), sebuah penerbitan yang dekat dengan parti Islam. Bahagian kedua, yang ditulis dan dikirim selepas terbit artikel pertama, tidak disiarkan. Mungkin bagi sidang pengarang membicarakan isu dara, kedaraan dan merungkai debat seksualiti dengan begitu "intensif" tidak sesuai. Entah, itu hanya dugaan saya sahaja.
Sebenarnya saya sudah lupa bulan dan tahun artikel tersebut diterbitkan dalam Muslimah. Saya sendiri tidak menyimpan edisi digital artikel tersebut. Jadi, saya benar-benar tidak ingat lagi sepatah demi sepatah artikel yang diterbitkan dalam Muslimah walau saya cukup sedar garis penghujahan saya waktu itu seperti yang beredar di alam siber sekarang.
Tiba-tiba, artikel tersebut muncul dalam edisi Internet dan terus menerus dijadikan bahan diskusi atau forum siber. Lihat di sini MJ Website, WebKL.net, Perlis Online.net, Fikrah Interaktif, Tokei Kedai Online, Komuniti Telaga Biru (dimasukkan 18 Ogos 2004, tetapi sekarang gagal diakses), dan Kelab Senang.com. Setakat ini saya temui di ruang carian di Google.com dan Yahoo.com.
Saya berbesar hati dengan kesediaan pembaca terus membaca, menyebarkan dan membincangkan tulisan tersebut. Cuma, muncul rasa ghairah dalam diri saya untuk tidak sepenuhnya bersetuju dengan artikel tersebut. Muncul rasa ghairah untuk menulis artikel baru, artikel sambungan atau artikel ulasan sebagai lanjutan (reaksi) pada artikel 'Dara: Apakah ia penting?'.
Walau Roland Barthes mengisytiharkan "pengarang telah mati" tetapi diri penulis artikel dara itu nampaknya belum mahu mati dan enggan dipisahkan daripadanya. Penulis, saat ini, teringin sekali untuk turut campur tangan (kenapa tidak "campur kaki"?) dalam isu dara tersebut.
Pengarang belum mahu mati!
Dilema kedua saya berhubung artikel ini, 'ISA, juga ada manfaatnya' (diedarkan kepada beberapa laman web pro-reformasi, 15 April 2001).
Saya KALI INI terpaksa membuat pengakuan terus terang, jujur dan serius (tanpa jenaka, tanpa main-main) di sini.
Sewaktu artikel tentang ISA tersebut diedarkan dalam ruang diskusi senarai e-mel (mailing list) dan laman-laman web tersebut, ia telah menimbulkan kontroversi dan mengelirukan beberapa pembaca, termasuk teman-teman dekat saya sendiri.
Beberapa pembaca, malah, menulis dan merungut waktu itu kepada ketua editor Malaysiakini.com, Steven Gan. Saya telah jelaskan kepada Steven, rakan-rakan dan pembaca tetapi ...
Astora Jabat, teman saya, melalui kolumnya di Mingguan Malaysia (16 Feb 2003) menulis 'Mengawasi, menilai dan meluruskan kerajaan - Islam izinkan pembangkang' menjadikan artikel saya tersebut sebagai satu (daripada beberapa) rujukan bagi menilai sikap dan perubahan pemikiran saya.
Selepas membaca artikel Astora ini, beberapa teman dekat bertanya: "Fathi, apakah kau sokong ISA?" Terpaksalah, saya menjelaskannya (sekali lagi...)
Saya nampaknya terjerumus lebih jauh dalam jenaka saya sendiri. Ampun...!
Pembaca yang tidak berhati-hati akan terasa saya benar-benar serius dengan pandangan tersebut. Tetapi pembaca yang sangat berhati-hati akan dapat mengesan paradoks, kesinisan, sindiran dan kecaman halus saya dalam artikel 'ISA, juga ada manfaatnya'.
Kebetulan artikel ini tidak datang sendirian. Ada satu catatan pendek yang dikirim sehari atau dua sebelum saya menulis artikel ini. Artikel itu bertajuk 'Cara nak buat Grenade Launcher, Molotov Koktel dan Bom' (lihat senarai artikel saya antara 2000 dan 2001 di lamab web TranungKite.net edisi lama).
Jadi saya mohon maaf kepada semua pembaca, dulu dan kini, juga kepada Astora Jabat. Tulisan saya yang penuh main-main, sinis dan kecaman itu seharusnya tidak ditulis dengan begitu halus sehingga tidak sempat kita berjenaka.
We take things too seriously! I am very, very sorry! :(
Teks terpenggal dari pengarangnya -- bukan kerana teks lebih abadi daripada pengarangnya tetapi mungkin manusia lebih tidak setia pada kelamaan dirinya sendiri. Dalam bahasa filsafat, pengarang diisytiharkan "telah mati".
Saya pernah menulis dua siri rencana pendek tentang dara, kemungkinannya pada penghujung 1995 atau 1996. Pada waktu itu saya menulis sebuah manuskrip novelet, Sekuntum Duri (yang tidak siap, yang telah hilang daripada simpanan saya tetapi beberapa naskhah diedarkan kepada tiga atau empat kawan).
Rencana tersebut diterbitkan dalam majalah Muslimah (sekarang tidak lagi beroperasi), sebuah penerbitan yang dekat dengan parti Islam. Bahagian kedua, yang ditulis dan dikirim selepas terbit artikel pertama, tidak disiarkan. Mungkin bagi sidang pengarang membicarakan isu dara, kedaraan dan merungkai debat seksualiti dengan begitu "intensif" tidak sesuai. Entah, itu hanya dugaan saya sahaja.
Sebenarnya saya sudah lupa bulan dan tahun artikel tersebut diterbitkan dalam Muslimah. Saya sendiri tidak menyimpan edisi digital artikel tersebut. Jadi, saya benar-benar tidak ingat lagi sepatah demi sepatah artikel yang diterbitkan dalam Muslimah walau saya cukup sedar garis penghujahan saya waktu itu seperti yang beredar di alam siber sekarang.
Tiba-tiba, artikel tersebut muncul dalam edisi Internet dan terus menerus dijadikan bahan diskusi atau forum siber. Lihat di sini MJ Website, WebKL.net, Perlis Online.net, Fikrah Interaktif, Tokei Kedai Online, Komuniti Telaga Biru (dimasukkan 18 Ogos 2004, tetapi sekarang gagal diakses), dan Kelab Senang.com. Setakat ini saya temui di ruang carian di Google.com dan Yahoo.com.
Saya berbesar hati dengan kesediaan pembaca terus membaca, menyebarkan dan membincangkan tulisan tersebut. Cuma, muncul rasa ghairah dalam diri saya untuk tidak sepenuhnya bersetuju dengan artikel tersebut. Muncul rasa ghairah untuk menulis artikel baru, artikel sambungan atau artikel ulasan sebagai lanjutan (reaksi) pada artikel 'Dara: Apakah ia penting?'.
Walau Roland Barthes mengisytiharkan "pengarang telah mati" tetapi diri penulis artikel dara itu nampaknya belum mahu mati dan enggan dipisahkan daripadanya. Penulis, saat ini, teringin sekali untuk turut campur tangan (kenapa tidak "campur kaki"?) dalam isu dara tersebut.
Pengarang belum mahu mati!
+ + + + +
Dilema kedua saya berhubung artikel ini, 'ISA, juga ada manfaatnya' (diedarkan kepada beberapa laman web pro-reformasi, 15 April 2001).
Saya KALI INI terpaksa membuat pengakuan terus terang, jujur dan serius (tanpa jenaka, tanpa main-main) di sini.
Sewaktu artikel tentang ISA tersebut diedarkan dalam ruang diskusi senarai e-mel (mailing list) dan laman-laman web tersebut, ia telah menimbulkan kontroversi dan mengelirukan beberapa pembaca, termasuk teman-teman dekat saya sendiri.
Beberapa pembaca, malah, menulis dan merungut waktu itu kepada ketua editor Malaysiakini.com, Steven Gan. Saya telah jelaskan kepada Steven, rakan-rakan dan pembaca tetapi ...
Astora Jabat, teman saya, melalui kolumnya di Mingguan Malaysia (16 Feb 2003) menulis 'Mengawasi, menilai dan meluruskan kerajaan - Islam izinkan pembangkang' menjadikan artikel saya tersebut sebagai satu (daripada beberapa) rujukan bagi menilai sikap dan perubahan pemikiran saya.
Selepas membaca artikel Astora ini, beberapa teman dekat bertanya: "Fathi, apakah kau sokong ISA?" Terpaksalah, saya menjelaskannya (sekali lagi...)
Saya nampaknya terjerumus lebih jauh dalam jenaka saya sendiri. Ampun...!
Pembaca yang tidak berhati-hati akan terasa saya benar-benar serius dengan pandangan tersebut. Tetapi pembaca yang sangat berhati-hati akan dapat mengesan paradoks, kesinisan, sindiran dan kecaman halus saya dalam artikel 'ISA, juga ada manfaatnya'.
Kebetulan artikel ini tidak datang sendirian. Ada satu catatan pendek yang dikirim sehari atau dua sebelum saya menulis artikel ini. Artikel itu bertajuk 'Cara nak buat Grenade Launcher, Molotov Koktel dan Bom' (lihat senarai artikel saya antara 2000 dan 2001 di lamab web TranungKite.net edisi lama).
Jadi saya mohon maaf kepada semua pembaca, dulu dan kini, juga kepada Astora Jabat. Tulisan saya yang penuh main-main, sinis dan kecaman itu seharusnya tidak ditulis dengan begitu halus sehingga tidak sempat kita berjenaka.
We take things too seriously! I am very, very sorry! :(
Thursday, December 08, 2005
Intelektual awam
Intellectuals should make public use of the professional knowledge that they possess - for example, as a writer or a physicist, a social scientist or a philosopher - and should do so of their own initiative, in other words without being commissioned to do so by anyone else.
They need not be neutral and eschew partisanship, but they should make a statement only in full awareness of their own fallibility; they should limit themselves to relevant issues, contributing information and good arguments; in other words, they should endeavor to improve the deplorable discursive level of public debates.
Intellectuals must tread a difficult tightrope in other regards as well.
For they betray their own authority if they do not carefully separate their professional from their public roles.
They should not use the influence they have by dint of words as a means to acquire power, thus confusing "influence" with "political power", that is with authority tied to positions in a party organization or a government.
Intellectuals cease to be intellectuals when they are in public office.
SEBELUMNYA, tokoh ini mengulas tentang peranan wacana, pelaku (actor) dan ruang. Ruang awam, atau public sphere, mengutamakan wacana rasional atas isu-isu awam berbeza dengan dunia kegemerlapan bintang (dan selebriti) yang hanya menonojolkan diri dan mencampur-adukkan dua dunia, awam dan peribadi (private sphere).
In today’s media society, the public sphere serves those who have gained prominence as a stage for self-presentation. Visibility is the real purpose of public appearance. The price that stars pay for this kind of presence in the mass media is to accept the conflation of their private and their public lives.
By contrast, the intention behind participation in political, literary or scholarly debates, or any other contribution to public discourse, is quite different: reaching agreement on a particular subject or clarifying reasonable dissent takes priority over the self-presentation of the author.
Here, the public is not a domain made up of viewers or listeners, but instead a space for the contributions of speakers and addressees, who confront one another with questions and answers. Rather than everyone else’s gaze being focused on the actor, there is an exchange of reasons and opinions.
In discourses that focus on a shared subject, participants turn their backs on their private lives. They do not need to talk about themselves. The line between public and private spheres does not become blurred; the two complement each other instead.
(Jürgen Habermas, "Public space and political public sphere – the biographical roots of two motifs in my thought", Commemorative Lecture, Kyoto November 11, 2004)
They need not be neutral and eschew partisanship, but they should make a statement only in full awareness of their own fallibility; they should limit themselves to relevant issues, contributing information and good arguments; in other words, they should endeavor to improve the deplorable discursive level of public debates.
Intellectuals must tread a difficult tightrope in other regards as well.
For they betray their own authority if they do not carefully separate their professional from their public roles.
They should not use the influence they have by dint of words as a means to acquire power, thus confusing "influence" with "political power", that is with authority tied to positions in a party organization or a government.
Intellectuals cease to be intellectuals when they are in public office.
SEBELUMNYA, tokoh ini mengulas tentang peranan wacana, pelaku (actor) dan ruang. Ruang awam, atau public sphere, mengutamakan wacana rasional atas isu-isu awam berbeza dengan dunia kegemerlapan bintang (dan selebriti) yang hanya menonojolkan diri dan mencampur-adukkan dua dunia, awam dan peribadi (private sphere).
In today’s media society, the public sphere serves those who have gained prominence as a stage for self-presentation. Visibility is the real purpose of public appearance. The price that stars pay for this kind of presence in the mass media is to accept the conflation of their private and their public lives.
By contrast, the intention behind participation in political, literary or scholarly debates, or any other contribution to public discourse, is quite different: reaching agreement on a particular subject or clarifying reasonable dissent takes priority over the self-presentation of the author.
Here, the public is not a domain made up of viewers or listeners, but instead a space for the contributions of speakers and addressees, who confront one another with questions and answers. Rather than everyone else’s gaze being focused on the actor, there is an exchange of reasons and opinions.
In discourses that focus on a shared subject, participants turn their backs on their private lives. They do not need to talk about themselves. The line between public and private spheres does not become blurred; the two complement each other instead.
(Jürgen Habermas, "Public space and political public sphere – the biographical roots of two motifs in my thought", Commemorative Lecture, Kyoto November 11, 2004)
Sunday, December 04, 2005
Tarian teks
Tarian teks di atas ker(pen)tas**
Our perception of our world is inevitably conditioned by the beliefs, fantasies, fears and wishes that we project onto it – that is, all the possible states of affairs that we imagine and propose. The ‘actual’ world of the drama is similarly subject to the speculations and projections not only of the characters within it but also of the spectators who observe it. – Keir Elam, The semiotics of theatre and drama (2002: 102)
The impossibility of rediscovering an absolute level of the real is of the same order as the impossibility of staging illusion. Illusion is no longer possible, because the real is no longer possible. – Jean Baudrillard, Simulacra and simulation (2003: 19)
All great prophecies are polysemic. That is one of their cardinal virtues, and explains how they have such general applications, and are transmitted so well across cultures and down the generations. – Pierre Bourdieu, dalam Bourdieu: A critical reader (ed. Richard Shusterman, 1999: 224)
Apabila jasad-jasad dinafikan wajah-wajah, apabila suara-suara diceraikan daripada jasad-jasadnya, yang tinggal hanya gerak-gerak dan gema-gema teriakan, kegembiraan dan ketakutan. Rasukan. Tangan-tangan meronta-ronta, pelarian dan pencarian. Panggung dicengkam kesunyian, kelam alam di suluhan lampu. Gema dan pancaran adalah kesedaran, kuasa-kuasa yang menyatu bersama panggung. Manusia dan kemanusiaan telah mati atau diberikan nafas baru – nafas kepalsuan.
Ruang empat segi yang mendatar, dan tanpa penjuru, mungkin mendatar, masa telah terkubur dalam ruang gelap. Tenaganya tenaga kegelapan. Semakin kita cuba memahami, ia semakin menyesatkan. Mungkinkah jasad dinafikan wajah dan suara? Teks, bunyi, imej dan suara menindih ruang, jasad dan panggung, kadang-kadang melimpah ke sisi panggung dan ke atas penonton. Agitasi seiras propaganda – propaganda yang mematikan; percaya atau enggan percaya sama sahaja – pembohongan memenuhi kegelapan yang tidak pernah dikenali atau mahu dimengertikan.
Cahaya datang daripada teks; bukan sebaliknya! Kemodenan, modernity, harus dicurigai – ia sang kudus bukan pembawa khabar syurgawi. Kerana bulan itulah mentari malam (kalau pun kita mahu percaya). Imej muncul daripada lolongan-lolongan anjing atau jasad-jasad yang tersisa. Masa telah menjadi sia-sia. Kesia-siaan menjadi batas waktu yang tanpa penghujung. Paradoks dan simpang-siur menjadi satu, menyatu bersama jasad-jasad, di atas panggung dan di bawah panggung. Seluruhnya hanyalah pentas, semua orang berlakon atau dilakonkan. Semua kesedaran hanya palsu. Pembohongan, kesedaran dan propaganda memenuhi panggung merayap-rayap di atas penonton. Panggung dan penonton menyatu – semuanya dibayangi kegelapan dan kesuraman; semua kita berbohong dengan mentera-mentera kesucian. Skrip diusung menjadi taubat sang pengarah. Dan pelakon-pelakon duduk menyaksikan penonton. Ia sebuah spectacle, suatu tontonan yang mengasyikkan tapi bohong. Alam belum jungkir balik tetapi saat-saat itu akan tiba, sedetik lagi tetapi bukan di atas pentas. Sebaliknya ia hadir di muka pintu, di luar panggung.
Jika makna hadir di sini dan bergerak – dari mana mahu ke mana ia mengembara?
Makna tidak hadir di alam fikiran; ia telah meloncat keluar dari teks, bunyi, cahaya dan gerak. Dari semua arah makna hadir dan ke semua arah ia pergi. Makna enggan bersatu di hati atau di atas teks, bunyi, cahaya dan gerak. Makna mahu hidup sendiri, ada nadi dan nafas sendiri tetapi ia tiada jasad. Ia terawang-awang, bukan di atas panggung tetapi di luar fikiran penonton. Tanda dan makna tercerai-cerai. Pengarah telah gagal kerana makna telah lari dari skrip; aturan bergerak tanpa makna lagi. Warna juga mati, terpisah makna, kerana ruang gelap menfanakan kepalsuan. Not-not muzik sudah tidak harmoni. Tarian keasyikan bergerak dari panggung ke atas penonton – sejenis perselingkuhan yang abadi. Semua hukum dilanggar; semuanya menjadi hukuman demi hukuman tetapi di sinilah keasyikan (ecstasy dan hedonism) – disorder sebagai order. Pentas menjadi ruang tari; jasad-jasad menjadi tiub-tiub warna. Kanvas itu sebuah gedung pewayangan (spectacle) yang dicari selepas menyaksikan, bukan sewaktu menonton. Ia kekal atau hilang, 1 atau 0. Logika perduaan (binary logics), sesuatu yang palsu tetapi nyata, bukan logika drama (dramatic logic) yang dipaksakan. Di sini ruang pembebasan. Makna terbang dari fikiran ke fikiran, kembali melalui asakan-asakan bunyi, warna, gerak dan lampu. Tontonan sekadar lakonan; ia bukan anugerah tetapi festival pendemokrasian makna. Semua orang menjadi pengarah, skrip, pelakon dan spectacle. Alam mengalami atomisasi melampau, semuanya cair; kod dan konvensi tidak dikenali. Putih bukan lawannya hitam. Gelap bukan bezanya terang. Bunyi bukan lawannya sunyi. Semuanya simpang siur.
Ini alam baru, semuanya tenaga, semuanya ruh yang bergentayangan. Semuanya kebaruan (novelty) dan kita baru sahaja dilahirkan dengan kementahan. Tiada beban tetapi kreativiti, beban kreativiti, beban penafsiran. Tetapi ia juga permainan dan khayalan. Ia tidak melekat, ia hanya hadir dan terus hadir (kepada yang mahu dan tidak mahu – semuanya harus menjadi mahu). Kita, manusia, semuanya tukang angguk, tiada protes. Di sini bukan jalan cerita dan tiada permasalahan dan tiada pula jawapan. Kebingungan adalah kekuatan dan tenaga. Pencarian adalah perjalanan. Pertanyaan menjadi ilmu, menjadi skrip dalam fikiran penonton. Ia kesementaraan yang tidak terjangkau tetapi dialami. Ia adalah khayalan simbol dan simbolisasi. Perwakilan tanpa keterwakilan.
Utan Kayu, Jakarta 2 Ramadhan 1426
** sebuah teks yang tidak pernah siap tetapi tiba-tiba diterbitkan dari Tanjung Aru, Sabah (4 Disember 2005); tidak layak dibaca kecuali mereka yang menikmatinya ;)
Our perception of our world is inevitably conditioned by the beliefs, fantasies, fears and wishes that we project onto it – that is, all the possible states of affairs that we imagine and propose. The ‘actual’ world of the drama is similarly subject to the speculations and projections not only of the characters within it but also of the spectators who observe it. – Keir Elam, The semiotics of theatre and drama (2002: 102)
The impossibility of rediscovering an absolute level of the real is of the same order as the impossibility of staging illusion. Illusion is no longer possible, because the real is no longer possible. – Jean Baudrillard, Simulacra and simulation (2003: 19)
All great prophecies are polysemic. That is one of their cardinal virtues, and explains how they have such general applications, and are transmitted so well across cultures and down the generations. – Pierre Bourdieu, dalam Bourdieu: A critical reader (ed. Richard Shusterman, 1999: 224)
Apabila jasad-jasad dinafikan wajah-wajah, apabila suara-suara diceraikan daripada jasad-jasadnya, yang tinggal hanya gerak-gerak dan gema-gema teriakan, kegembiraan dan ketakutan. Rasukan. Tangan-tangan meronta-ronta, pelarian dan pencarian. Panggung dicengkam kesunyian, kelam alam di suluhan lampu. Gema dan pancaran adalah kesedaran, kuasa-kuasa yang menyatu bersama panggung. Manusia dan kemanusiaan telah mati atau diberikan nafas baru – nafas kepalsuan.
Ruang empat segi yang mendatar, dan tanpa penjuru, mungkin mendatar, masa telah terkubur dalam ruang gelap. Tenaganya tenaga kegelapan. Semakin kita cuba memahami, ia semakin menyesatkan. Mungkinkah jasad dinafikan wajah dan suara? Teks, bunyi, imej dan suara menindih ruang, jasad dan panggung, kadang-kadang melimpah ke sisi panggung dan ke atas penonton. Agitasi seiras propaganda – propaganda yang mematikan; percaya atau enggan percaya sama sahaja – pembohongan memenuhi kegelapan yang tidak pernah dikenali atau mahu dimengertikan.
Cahaya datang daripada teks; bukan sebaliknya! Kemodenan, modernity, harus dicurigai – ia sang kudus bukan pembawa khabar syurgawi. Kerana bulan itulah mentari malam (kalau pun kita mahu percaya). Imej muncul daripada lolongan-lolongan anjing atau jasad-jasad yang tersisa. Masa telah menjadi sia-sia. Kesia-siaan menjadi batas waktu yang tanpa penghujung. Paradoks dan simpang-siur menjadi satu, menyatu bersama jasad-jasad, di atas panggung dan di bawah panggung. Seluruhnya hanyalah pentas, semua orang berlakon atau dilakonkan. Semua kesedaran hanya palsu. Pembohongan, kesedaran dan propaganda memenuhi panggung merayap-rayap di atas penonton. Panggung dan penonton menyatu – semuanya dibayangi kegelapan dan kesuraman; semua kita berbohong dengan mentera-mentera kesucian. Skrip diusung menjadi taubat sang pengarah. Dan pelakon-pelakon duduk menyaksikan penonton. Ia sebuah spectacle, suatu tontonan yang mengasyikkan tapi bohong. Alam belum jungkir balik tetapi saat-saat itu akan tiba, sedetik lagi tetapi bukan di atas pentas. Sebaliknya ia hadir di muka pintu, di luar panggung.
Jika makna hadir di sini dan bergerak – dari mana mahu ke mana ia mengembara?
Makna tidak hadir di alam fikiran; ia telah meloncat keluar dari teks, bunyi, cahaya dan gerak. Dari semua arah makna hadir dan ke semua arah ia pergi. Makna enggan bersatu di hati atau di atas teks, bunyi, cahaya dan gerak. Makna mahu hidup sendiri, ada nadi dan nafas sendiri tetapi ia tiada jasad. Ia terawang-awang, bukan di atas panggung tetapi di luar fikiran penonton. Tanda dan makna tercerai-cerai. Pengarah telah gagal kerana makna telah lari dari skrip; aturan bergerak tanpa makna lagi. Warna juga mati, terpisah makna, kerana ruang gelap menfanakan kepalsuan. Not-not muzik sudah tidak harmoni. Tarian keasyikan bergerak dari panggung ke atas penonton – sejenis perselingkuhan yang abadi. Semua hukum dilanggar; semuanya menjadi hukuman demi hukuman tetapi di sinilah keasyikan (ecstasy dan hedonism) – disorder sebagai order. Pentas menjadi ruang tari; jasad-jasad menjadi tiub-tiub warna. Kanvas itu sebuah gedung pewayangan (spectacle) yang dicari selepas menyaksikan, bukan sewaktu menonton. Ia kekal atau hilang, 1 atau 0. Logika perduaan (binary logics), sesuatu yang palsu tetapi nyata, bukan logika drama (dramatic logic) yang dipaksakan. Di sini ruang pembebasan. Makna terbang dari fikiran ke fikiran, kembali melalui asakan-asakan bunyi, warna, gerak dan lampu. Tontonan sekadar lakonan; ia bukan anugerah tetapi festival pendemokrasian makna. Semua orang menjadi pengarah, skrip, pelakon dan spectacle. Alam mengalami atomisasi melampau, semuanya cair; kod dan konvensi tidak dikenali. Putih bukan lawannya hitam. Gelap bukan bezanya terang. Bunyi bukan lawannya sunyi. Semuanya simpang siur.
Ini alam baru, semuanya tenaga, semuanya ruh yang bergentayangan. Semuanya kebaruan (novelty) dan kita baru sahaja dilahirkan dengan kementahan. Tiada beban tetapi kreativiti, beban kreativiti, beban penafsiran. Tetapi ia juga permainan dan khayalan. Ia tidak melekat, ia hanya hadir dan terus hadir (kepada yang mahu dan tidak mahu – semuanya harus menjadi mahu). Kita, manusia, semuanya tukang angguk, tiada protes. Di sini bukan jalan cerita dan tiada permasalahan dan tiada pula jawapan. Kebingungan adalah kekuatan dan tenaga. Pencarian adalah perjalanan. Pertanyaan menjadi ilmu, menjadi skrip dalam fikiran penonton. Ia kesementaraan yang tidak terjangkau tetapi dialami. Ia adalah khayalan simbol dan simbolisasi. Perwakilan tanpa keterwakilan.
Utan Kayu, Jakarta 2 Ramadhan 1426
** sebuah teks yang tidak pernah siap tetapi tiba-tiba diterbitkan dari Tanjung Aru, Sabah (4 Disember 2005); tidak layak dibaca kecuali mereka yang menikmatinya ;)
Subscribe to:
Posts (Atom)