Oleh: AYU UTAMI
(Seputar Indonesia.com, 6 Januari 2008)
Khalid Jaafar adalah seorang cendekia. Bagi saya, dia bukan Malaysia, bukan Indonesia. Tulisan-tulisannya membuat saya teringat bahwa intelektual tidak berbatas negara. Ia tinggal di KL, tapi suka berburu buku antik sampai ke Pasar Senen.
Sama seperti Ulil Abshar Abdalla, pada masa mudanya ia pernah terpukau oleh pemikiran Sayid Qutb sebentar saja, sebab ia membaca setumpuk buku dan kitab lain. Buah pikir dan bahasanya menghibur saya di tengah hubungan miring dua negeri serumpun bertetangga.
(Lihatlah, perang copyright tradisi, perebutan pulau-pulau, penganiayaan pembantu ”Indon” oleh majikan Malaysia, tapi juga korupsi yang sangat memalukan oleh kedutaan kita atas para tenaga kerja migran—bagaimana Malaysia tidak memandang rendah Indonesia jika kita sendiri memperlakukan pekerja kita sedemikian?)
Kita tak bisa melihat ada Indonesia dan ada Malaysia saling berseberangan. Sebab, di dalam masing-masing wilayah ada orang-orang dan kelompok-kelompok yang melintas batas maupun yang terpinggirkan. Apa itu Reformasi? Khalid Jaafar pernah menulis dalam memperingati lima tahun ”reformasi” di Malaysia (yang bagai mati selagi janin), yang dihitungnya mulai Anwar Ibrahim memakai kata itu sebagai slogan.
Tahun ini kita akan merayakan sepuluh tahun reformasi di Indonesia, yang dihitung sejak ”keberhasilannya”, yaitu mundurnya Soeharto dari Binagraha pada Mei 1998. Tapi, apa itu Reformasi? Di Malaysia, tulis Khalid, seorang senator dan seorang penyair berkata bahwa kata ini tak dimengerti betul oleh masyarakat. Ia terasa janggal dan elitis. Tapi, perkataan ”keadilan” juga telah tak memiliki kesegaran lagi.
Di Indonesia, tak seorang pun ragu atau bertanya tentang kata ”reformasi”. Sebab, dalam segera hasilnya jelas: presiden yang telah 32 tahun berkuasa itu mundur. Artinya, setidaknya ada perubahan. Perubahan seperti apa, itu persoalan kemudian. Yang tertinggal adalah reformasi di bidang pemikiran. Penulis muda Malaysiakini.com Fathi Aris Omar pernah bertanya, ke manakah para pemikir reformasi.
Berbeda dengan Khalid yang bergabung dalam kubu Anwar Ibrahim, Fathi cenderung berjarak dari politik.Ia menginginkan penerukaan di bidang pemikiran. Pertanyaannya, ke mana gerangan para pemikir reformasi, tak hanya berlaku di Malaysia, tetapi juga di Indonesia.
”Masyarakat intelektual reformasi belum wujud,” tulis Khalid dalam salah satu buah pikirnya di Tumit Achilles dan Lain-lain Esei.
”Ini mungkin terbalik dengan Revolusi Prancis, yang meledak dengan didahului pemikir-pemikir Pencerahan seperti Montesquieu,Voltaire, dan Rousseau. Tapi, reformasi di Malaysia (juga di Indonesia) meledak dahulu dan setelah hampir lima tahun (atau sepuluh tahun pada kita) di kalangan aktivis mereka baru sadar bahwa ada satu kekosongan yang perlu diisi.
Banyak pemberontakan terjadi di sejarah umat manusia, tetapi sebagian besar dilupakan karena tiada membawa gagasan baru. Namun, Revolusi Prancis kekal dalam ingatan.”
Di era Perang Dingin, Indonesia maupun Malaysia berpihak pada blok Amerika.
”Kekosongan pemikiran alternatif dari golongan kiri diambil sepenuhnya oleh gerakan Islam bermula dari pertengahan 1970-an,” tulis Khalid pula.
Di Malaysia, Jemaah Tabligh, Arqam, dan Abim menyebarkan ”Islam sebagai satu-satunya penyelesaian”. Beberapa, seperti juga Anwar Ibrahim, tetap membuka diri pada pengaruh Ivan Illich, Paolo Frerie, Herbert Marcuse, dan pemikir kiri baru. Di Indonesia kita mengenal pemikir Islam seperti Nurcholis Majid juga Gus Dur, cendekia yang menjadi presiden pertama yang ”digulingkan” di era reformasi.
Khalid, yang memang pernah menjadi juru bicara Anwar, menulis bahwa Anwar bagai tak mendapat khalayak dan retorika Islam lebih mudah menangkap imajinasi generasi muda. ”Pemikiran Islam mengambil arah yang lebih konservatif. Sifat konservatif ini merentasi polarisasi politik kepartaian.” Tak persis demikian di Indonesia. Sebab, pemikiran Islam sebetulnya begitu rancak.
Sayangnya,retorika Islam yang tidak toleran justru mendapat tempat. Paling tidak, jika ada konflik, aparat cenderung berkompromi pada mereka yang tak tahan pada keragaman. Ini terlihat, antara lain pada penyerangan Ahmadiyah yang mendasarkan diri pada fatwa MUI—sebuah ormas yang sesungguhnya ganjil karena dibiayai pajak yang juga datang dari warga Ahmadiyah.
”Apa itu Reformasi” sebetulnya digubah Khalid dari ”Apa itu Pencerahan” dari Immanuel Kant dan ia mengingatkan bahwa penyakit pemikiran hari ini adalah yang disebut Kant sebagai ”ketakutan untuk menggunakan akal”.(*)
Friday, January 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
dan khalid jaafar juga bukan 'melayu', dan bukan sesiapa...
itupun jika dicabut sejarah anwar ibrahim dari dirinya, maka ia dengan sendirinya akan menjadi sebuah institusi yang tak terbatas...
Post a Comment