Sebagai dedikasi yang teramat sangat kepada pengarang ini, saya terbitkan kembali sebuah puisi ringkas Noorca M Massardi, yang kelihatan ditulis sebagai jeritan suara kebebasan sewaktu kebodohan dan penindasan bermaharajalela di bawah (tapak kaki) Soeharto:
Kalau...
Kalau larangan telah menjadi kebiasaan
untuk apakah akal sehat?
Kalau pengawasan telah menjadi hiburan
untuk apakah kesenian?
Kalau keserakahan telah menjadi pemandangan
untuk apakah kesederhanaan?
Kalau kekejaman telah menjadi kebijaksanaan
untuk apakah pengadilan?
Kalau penindasan telah menjadi sarapan
untuk apakah pembangunan?
Kalau penyelewengan telah menjadi kebudayaan
untuk apakah masih di sini?
Jakarta 24 Disember 1990
Sunday, March 26, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Teman2, di kesempatan lain nanti, saya akan menjelaskan latar politik di Indonesia yang telah mendorong kelahiran sajak ini dan pembabitan penyair ini dalam satu protes era Soeharto.
Awal minggu ini Noorca M Massardi, pengarang novel cinta remaja (kemudian difilemkan) yang mengasyikkan dan berpengaruh kuat atas diri saya, telah mengirim komentar di blog saya yang pertama NokGiDok, http://nokgidok.blogspot.com/
Mungkin saya juga perlu menceritakan siapakah Noorca M Massardi, tentang novelnya Sekuntum Duri dan pengaruh tokoh ini dalam memperjuangkan kebebasan.
Saya tidak kenal dia. Dia kenal saya. Kami (atau, saya) hanya mengenali melalui bacaan di www.google.com.my -- fathi aris omar
Ayat TERAKHIR di atas seharusnya dibaca:
Saya tidak kenal dia. Dia TIDAK kenal saya. Kami (atau, saya) hanya mengenali melalui bacaan ....
MAAF, tersilap taip
Post a Comment